Banyak diantara kita yang menyalahkan akibat di banding sebab, ketidakmauan melihat sebab sebagai pemicu timbulnya keresahan dalam keadaan dari akibat adalah sikap kesombongan. Memang takdir manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang dilebihkan dari makhluk ciptaan lain-Nya untuk menjadi khalifah, tetapi bukan berarti kelebihan itu menjadikan intisari sikap keangkuhan dan kesombongan.Dalam agama, entah itu agama Islam,Nasrani, Hindu, Budha dan kepercayaan-kepercayaan lain memang selalu mengajarkan agar setiap pengikutnya untuk menghindari sifat kesombongan, kesombongan atas dirinya dan terutama terhadap orang lain. namun apakah benar jika manusia sudah mencapai tingkat kereligiusan tertinggi agama mereka benar-benar menjadi manusia yang paling terhindar dari sombong itu?
Menilik dari ajaran tasawuf Imam Al-Ghazali tentang sikap takabbur. Bahwa seorang sufi yang sudah mencapai maqam tertinggi, iamasih berpotensi untuk menjadi sombong dan takabbur, dengan merasa bahwa perilaku asketiknya adalah murni menjadi bentuk pengabdian sejatinya terhadap Tuhan sehingga ia meremehkan manusia lain yang tak mampu melakukan apa yang ia lakukan, sudah pasti ia terjerat dalam lingkaran kesombongan itu tadi. Begitu dalam dan tingginya ajaran tasawuf ini sehingga banyak para ulama klasik di tanah Jawa memegang dan menerapkannya dalam konsep andap ashor.Konsepsi yang memandang diri sendiri sangat hina dan buruk sementara orang lain dianggap lebih baik darinya, mendahulukan orang lain dengan bersikap ngalah dan neriman atas segala keputusan. Yang walaupun pada akhirnya mereka dicap sebagai kaum yang apatis dan tidak mau menerima perubahan akibat konsep itu.
Besar kaitannya antara sikap sombong dan ego itu sendiri. kesombongan muncul dari keegoisan untuk mendeklarasikan bahwa apa yang diucapkan adalah benar dan harus terlaksana sebagaimana yang ia inginkan. Tapi apakah ia tidak melihat kiri-kanan mereka bahwa ada faktor perbedaan yang tak mungkin bisa ia selaraskan dengan konsep idenya. Ego tak bisa dihindari, itu sudah akar yang merambat kuat dalam jiwa manusia dan bagian tersendiri dari nafsu yang pasti setiap manusia memilikinya. Ego tak bisa dimusnahkan tapi bukan berarti kita tak bisa mengendalikan. Peran penting akal sebagai maha anugerah tuhan terhadap manusia harus benar-benar menjadi media refleksi perenungan yang paling mujarab dan menjadi jawaban akhir yang memuaskan.
Ketertutupan akal akan keegoisan kerap memunculkan perbedaan-perbedaan sensitif yang berujung pada ketidak-selarasan hidup. Secara lahiriah manusia memilih menjadikan perdamaian sebagai cita-cita yang paling agung. Tapi apakah karena keegoisan itu mereka harus merelakan meruntuhkan cita-cita yang mulia itu? Akan terasa sebuah keganjalan jika kita merenung dan melihat lebih dalam dari realitas yang ada pada saat ini. Kesombongan akan prinsip dan ide menjadi alasan yang tak akan habis untuk diperjuangkan seutuhnya.menjadikan keselarasan terhadap satu buah ide yang wajib untuk diwujudkan. Disini sebenarnya letak  pangkal ego dari sombong itu mulai merasuk sangat kuat dalam jiwa. Tidakkah kita berfikir bahwa kesombongan itu hanya milik Tuhan semata sebagai entitas mutlak yang berhak dideklarasikan sebagai maha sombong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H