Mohon tunggu...
Via VeL
Via VeL Mohon Tunggu... -

ibu rumah tangga

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pentingnya Sikap Berkompromi

10 April 2012   05:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:48 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Menginspirasi dan memotivasi. Dua kata inilah yang banyak dilontarkan, baik penonton film maupun pembaca novel Negeri 5 Menara tulisan Ahmad Fuadi. Karya yang mempopulerkan mantra Man Jadda Wajada ini, memang mampu menyeret siapapun yang selesai melihat film atau membaca bukunya, untuk segera mewujudkan mimpi dan keinginannya. Mantra ini menularkan virus akan kepercayaan diri bahwa dengan niat dan usaha yang sungguh-sungguh, keinginan itu pasti akan berhasil.

Namun, antara keinginan dan kenyataan acapkali tak sejalan. Ketika suatu keinginan demikian menggebu, pada akhirnya harus runtuh melihat situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan. Tentu saja itu bukan berarti dunia sudah kiamat kan? Pasti akan ada jalan. Dengan mantra Man Jadda Wajada, lewat jalan lain, pun jalan lain yang amat tidak diinginkan, keinginan itu bisa saja terwujud. Menurut kacamata saya, hal ini lah yang coba di angkat dalam film Negeri 5 Menara.

Sesuai dengan isi novelnya, cerita film ini dimulai dari kegembiraan si tokoh utama Alif Fikri saat berhasil menyelesaikan pendidikannya di MTs, setara SMP. Namun, cita-citanya untuk bisa melanjutkan SMA di Bandung dan kemudian ke ITB, demi mengejar impiannya menjadi seperti BJ Habibie, harus dikuburnya. Amaknya menginginkan dia melanjutkan sekolah di pesantren, karena menginginkan Alif menjadi ahli agama seperti Buya Hamka, tokoh nasional dari daerah setempat yang kian langka di negeri ini. Kecewa? Tentu saja.

Namun Alif pun luluh, ketika melihat orang tuanya harus menjual harta terbesar mereka, seekor kerbau, demi bisa membawanya ke tanah Jawa untuk belajar di pesantren. Di sinilah Alif berkompromi dengan keinginan orangtuanya. Dia tidak tega memaksakan kehendaknya untuk sekolah di Bandung, meski dia harus berhadapan dengan kekalahan akibat persaingan dengan sahabat sekolahnya, Randai. Rasa hormat dan menghargai orangtuanya mampu menekan egonya untuk mewujudkan keinginan yang telah dibangun cukup lama.

Kearifan orang tua Alif pun ditunjukkan dalam film ini. Melihat impian Alif untuk bisa sekolah di Bandung, mereka hanya ‘memaksa’ anaknya agar belajar di pesantren selama setahun saja. ’’Cobalah setahun saja belajar di sana. Jika memang tidak cocok kau boleh pindah sekolah ke Bandung,’’ hibur Amak. Perasaan lega dan terharu langsung menyeruak dalam hati saya.

Sikap kompromi dan saling mengerti serta menghormati keinginan orang lain ini lah yang menjadi perhatian saya. Sekalipun kepada orang tua sendiri, tidaklah lantas kita harus memaksakan kehendak semaunya. Demikian juga sikap orang tua kepada anak. Meski tidak sesuai dengan keinginan meski demi kebaikan si anak, tidak serta merta memaksa anaknya untuk menuruti. Apa yang orang tua anggap baik bagi anak-anaknya, belum tentu baik pula di mata mereka.

Menurut saya, sikap kompromi seperti ini sangat penting dilakukan. Tak jarang kita temui cerita,seorang anak dengan sangat terpaksa menuruti sekolah atau jurusan yang diingini orang tuanya. Hatinya tidak bisa ‘mengalah’ dengan kehendak orangtuanya sehingga tak banyak yang akhirnya dilanda stress bahkan depresi, dan ujungnya harus menerima kegagalan. Sementara sikap orang tua juga tak bisa sedikitpun melunak. Anak hanya diberikan dua pilihan, mau terus sekolah atau tidak sekalian. Orang tua tidak menyadari bahwa anak adalah individu yang berbeda, yang mempunyai keinginan dan pemikiran sendiri.

Lantas bagaimana dengan tokoh kita, Alif? Meski sempat ingin menggagalkan kelulusannya masuk di pesantren itu, namun akhirnya Alif bisa menikmati ritme kehidupan di pesantren. Hal baru yang banyak ditemui, motivasi kawan-kawan barunya yang begitu kuat untuk belajar, telah membuka hatinya. Bahkan, dia menemukan lima teman, Atang, Raja, Baso, Dulmatin dan Said, yang akhirnya menjadi sahabat. Persahabatan inilah yang ikut memacu Alif untuk bersungguh-sungguh belajar. Dia sadar, untuk mewujudkan keinginannya tidak harus melewati jalan yang telah dirancangnya. Dan di akhir film ditunjukkan, bahwa sikap komprominya itu ternyata tidak menutup kesuksesan yang lama diimpikannya. Berani berkompromi, bukan berarti menerima sebuah kekalahan. So, masih enggankah kita jika harus berkompromi?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun