Tanpa bermaksud mengecilkan desainer tugu baru, namun bagi penulis perombakan yang dilakukan di titik nol Kota Palembang itu nampak tidak tepat. Ikon/tugu lama yang berupa simbol daun teratai bertingkat di bagian tengah dan 5 tugu serupa berukuran lebih kecil disekitarnya sudah sangat melekat bagi warga Palembang. Bentuknya yang lebih etnik, sangat jelas melambangkan kekayaan budaya kota yang sempat berjuluk ‘venice from the east’ ini. Terlepas dari pandangan desainnya, simbol teratai pada tugu yang dibangun tahun 1970an tersebut merupakan simbol sejarah bagi tanah Sumatera Selatan. Teratai merupakan lambang dari kemaharajaan Kerajaan Sriwijaya, bahkan bunga air tersebut juga dipakai sebagai logo dari Provinsi Sumatera Selatan sendiri.
Pembangunan lain baik berupa gedung-gedung bertingkat hingga ruang publik juga lagi-lagi bernasib sama, semua terbangun tanpa memberikan ciri ke-Palembang-annya alias seragam dengan kota lain. Bangunan-bangunan kolonial masih banyak yang terbengkalai, peninggalan sejarah tidak optimal direvitalisasi, bahkan ketika sudah dipugarpun justru tidak ada pengelolaan yang baik. Kini, kasus Pasar Cinde seolah menjadi titik balik perhatian stakeholder terhadap pembangunan kota yang dirasa mulai kebablasan mengartikan sebuah kemajuan kota.
Oleh karena itu, penting rasanya pemerintah dan pengembang dapat duduk bersama dengan masyarakat pemerhati sebelum menentukan keputusan terkait pengembangan kota. Tak bisa dipungkiri, pertimbangan ekonomi seringkali menjadi paradigma utama yang diambil, namun hal tersebut harus selalu diimbangi dengan faktor lain sebelum wajah kota benar-benar tak berjati diri lagi, yang dalam waktu panjang akan berpengaruh pada menurunnya kualitas kehidupan ekosistem manusia didalamnya. Jangan sampai pula brand Kota Internasional hanya sebagai embel-embel kosong yang disematkan tanpa ada perencanaan matang dan keberlanjutan.
Mengapresiasi sejarah dan memaknai budaya dengan sebenarnya, harus menjadi landasan tatanan pembangunan kota yang ramah, tidak hanya bagi penduduk aslinya tetapi juga bagi wisatawan yang datang. Jika semua aspek ini tidak juga diperhatikan, lantas mau dibawa kemana lagi pembangunan Palembang kedepannya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H