Yogyakarta -Suasana pagi kota Yogyakarta yang sejuk disertai gerimis, membuat kita betah dirumah sambil menikmati secangkir kopi panas, namun terdapat sisi lain kehidpan di pinggiran rel kereta api Jl. HOS Cokroaminoto yang selalu ramai akan suara kendaraan yang berlalu lalang, hingga suara bising nya mesin kereta api, sudah menjadi makanan sehari hari bagi Subur (43) pemilik angkringan DPR yang sudah menjalankan usahanya ini sejak 10 tahun silam.
Menariknya angkringan ini diberi nama angkringan DPR, bagi kita yang pertama kali melihat nama ini, pasti nama ini mengingatkan kita pada salah satu lembaga tinggi negara, yaitu dewan perwakilan rakyat, tetapi pada kenyataanya nama ini hanyalah sebatas singkatan dari Dagangan Pinggiran Rel, mengingat angkringan ini berdekatan dengan lalu lintas kereta api, maka Subur sebagai pemiliknya berinisiatif membuat nama angkringan ini sedikit antimainstream.
Di usianya yang kini sudah tidak bisa dibilang muda lagi, Subur masih semangat dalam menjalani pekerjaan nya walaupun hanya sebatas penjual angkringan dipinggiran jalan, tampak dari raut wajahnya yang sudah agak mulai keriput akibat dimakan usia, dia tetap murah senyum dan ramah terhadap pelanggan pelanggannya.
Meskipun hanya pedagang pinggiran, Subur tetap menjalaninya dengan sepenuh hati, pria yang merantau dari Lampung itu, kini sedang menanggung biaya sekolah anaknya yang baru masuk ke jenjang sekolah Dasar dan kebutuhan diri serta istinya, "gini mas kita kan cuman pedagang pinggiran, jadi kalo rezeki itu gak bisa di prediksi, kadang saya udah buka mulai dari pagi sampe larut malem, dapetnya paling sekitar 100rb an, minimal cukuplah untuk menutupi kebutuhan sehari hari, walaupun begitu kita harus tetap bersyukur bagaimana pun keadaanya" walaupun hanya mendapat penghasilan yang kecil Subur tetap bersyukur atas pekerjaan yang sudah lama ia jalani.
Selama ini dengan hanya berjualan angkringan di pinggir jalan banyak keluh kesah yang sudah ia lewati "kalau yang saya rasain ya itulah mas kadang dagangan saya rame ya alhamdulillah, tapi waktu sepi itu lo mas kadang bikin saya mikir" meski sudah mulai nangkring mulai dari pagi hari, ia mengaku hasilnya tidak sebanding dengan capek dan penat yang dia rasakan.
Akibat pandemi covid-19 yang melanda, bukan hanya menyebabkan merosotnya pendapatan negara, tetapi dampak dari pandemi ini juga mengakibatkan semakin menderitanya pedagang pinggiran, mulai dari kurangnya pembeli, hingga ada nya ppkm besar besaran yang membuat banyak pedagang pinggiran gulung tikar, hal ini juga dirasakan langsung oleh Subur "dampak pandemi terhadap jualan saya ini mas, ya seperti yang udah saya bilang tadi, jadi yang dulunya sebelum ada covid itu lumayan rame, nah setelah covid jadi sepi aja mas."
Bukan hanya itu saja, pria kelahiran Lampung itu juga menceritakan sedikit pengalamannya selama merantau kurang lebih 10 tahunan di kota Yogyakarta, "saya juga sama kaya mas, saya juga di jogja ini merantau udah sekitar kurang lebih 10 tahunan mas, jadi prinsip yang saya terapin ke dalam diri saya jika kita merantau di negeri orang tu ya harus sopan mas, pokonya itu sih yang paling vital, dan satu lagi kalo kamu mau dihargai ya kamu harus ngerhargain orang juga," tuturnya sembari meminum secangkir kopi yang sudah mulai dingin.
Hidup serba berkecukupan tidak menjadi alasan Subur untuk mengeluh dan pasrah pada keadaan. Subur memilih jalan berjualan guna memenuhi kebutuhan sehari-hari dan yang pasti setiap orang memiliki harapan untuk masa yang akan datang, begitu juga Subur, dia berharap semoga kedepannya usaha yang dia tekuni saat ini terus berjalan, dan juga pandemi cepat berlalu demi keberlangsungan roda perekonomian yang sempat berhenti akibat dilanda pandemi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H