Mohon tunggu...
Izhar Gouzhary
Izhar Gouzhary Mohon Tunggu... -

Pengamat Kebijakan Publik Indonesia dari jarak 10.697 Km nun jauh di Eropa-Jerman.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Trik-Trik Politik Kotor dan Kampanye Hitam untuk Jokowi

21 September 2013   15:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:35 1977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebanyak 12 partai politik adalah peserta pemilu nasional dan telah dinyatakan lolos verifikasi dan berhak mengikuti Pemilihan Umum 2014. Pemilihan umum legislatif (anggota DPR, DPD dan DPRD Indonesia) berikutnya akan diselenggarakan pada tanggal 9 April 2014. Ini akan menjadi pemilihan umum legislatif langsung ketiga di Indonesia.

Pemilu Presiden di Indonesia tak bisa dilepaskan dari pemilu legislatif. Sampai saat ini, UU Pilpres masih menjadikan perolehan suara partai politik dalam pemilu legislatif sebagai syarat utama partai atau gabungan partai untuk dapat mengusung calon presiden.

Menurut Pasal 9, UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden: Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Harapan dari kebijakan ini adalah bahwa Capres yang akan dicalonkan mendapat dukungan awal dari masyarakat luas. Artinya Capres dan Cawapres telah didukung oleh rakyat melalui Parpol.

Saya memetakan beberapa kandidat capres saat ini dalam empat kelompok. Pertama; 5 kandidat Capres dari Parpol yang sudah mendeklarasikan diri. Mereka adalah Wiranto (Hanura), Prabowo (Gerindra), Sutiyoso (PKPI), Hatta Rajasa (PAN) dan Aburizal Bakrie (Golkar). Kedua; calon kandidat lainnya sebut saja Anies Baswedan atau Dahlan Iskan dan lain-lainnya yang maju melalui jalur konvensi capres Partai Demokrat. Ketiga; calon lainnya yang sudah menyatakan siap untuk maju sebagai capres tapi belum mendapatkan dukungan partai atau masih menunggu perkembangan politik atau menunggu hasil pemilu legislatif antara lain Mahfud MD, Jusuf Kalla, Surya Paloh, dan Rhoma Irama. Keempat; calon yang tidak menyatakan akan maju sebagai capres tapi mendapat desakan dan dukungan besar dari publik berdasarkan hasil pooling dan survei untuk maju sebagai capres 2014. Yah, siapa lagi kalau bukan Jokowi.

Dari semua hasil survei dan pooling yang diadakan belakangan ini (Pusat Data Bersatu, IRC, LIPI, CSIS, LSN, Soegeng Sarjadi), hampir semuanya menempatkan elektabilitas atau tingkat keterpilihan Jokowi yang tertinggi diantara para kandidat capres lainnya. Bahkan dalam salah satu survei mengatakan bahwa 25 persen responden menyatakan abstain jika Jokowi tidak menjadi salah satu kandidat capres.

Tingginya elektabilitas Jokowi ini tentu mengganggu dan membuat tidak nyaman beberapa kandidat capres lainnya yang berambisi menjadi pemerintah kelak. Secara umum ada dua cara untuk menyiasati hasil survei opini ini yaitu, menaikkan elektabilitas sendiri atau menurunkan elektabilitas lawan. Lyndon Johnson Capres Amerika tahun 1964, dalam rangka menggilas lawan politiknya dia membentuk komite enam belas pria rahasia yang dijuluki klub the five o’clock. Diantara kegiatan mereka adalah membuat buku kampanye hitam untuk menjatuhkan lawan politiknya; menulis surat ke beberapa kolumnis dengan kedok bahwa masyarakat awam tidak setuju dengan pencalonan lawannya; secara diam-diam “menitipkan/mengarahkan“ pertanyaan menjatuhkan ke reporter pada saat lawannya berkampanye; mengirim agen rahasia menyusup ke markas kampanye lawan untuk berburu informasi, strategi kampanye, teks pidato; menyebarkan cerita palsu tentang sumber kekayaan lawan yang tidak wajar; menyebarkan desas desus bahwa pihak lawan punya penyakit akut dan berspekulasi akan segera mati; merekrut lembaga survei bekerja untuk kampanye pemenangannya dan memalsukan hasilnya.

Trik-trik kotor dan kampanye hitam seperti diatas juga marak di Indonesia. Dalam pengamatan saya beberapa bulan terakhir saya mencatat ada beberapa upaya penggiringan opini publik untuk menjatuhkan elektabilitas Jokowi yang sudah tak terkejar, bak langit dan bumi. Misalnya: “Salam 3 jari Jokowi Freemanson dan Zionis“, “Kejahatan moral Jokowi”, “Kasihan bangsa ini jika Jokowi satu-satunya capres“, “Pendatang baru DKI gara-gara Jokowi“, Blusukan Jokowi menghamburkan uang“, “Konglomerat hitam dibelakang Jokowi“ dan beberapa cara lain untuk mengganjal popularitas dan elektabilitas sang Gubernur DKI ini.

Semua pemimpin dari sejak zaman Nabi Musa tahu bahwa seorang musuh harus “dilumpuhkan”. Jika ada satu bara api yang dibiarkan menyala, pada akhirnya nanti kebakaran akan terjadi. Dan akan ada lebih banyak hal yang hilang jika dibiarkan daripada jika api tersebut dipadamkan. Merespon trik trik kotor dalam kampanye hitam bisa di-counter dengan membentuk tim anti-campaign. Barry Goldwater tidak tinggal diam ketika dia di-smear oleh lawan politiknya. Kelompok pro Goldwater ini menamakan dirinya The Mothers for a Moral America, membuat film kontroversial berjudul CHOICES. Pesan dari film ini bahwa Amerika punya pilihan antara ”Good and Evil”.

Satu tindakan tulus dan jujur akan menutupi lusinan tindakan tidak jujur. Tapi satu tindakan jujur saja seringkali tidak cukup! Yang diperlukan adalah reputasi jujur yang dibentuk atas serangkaian fakta-fakta. Setelah reputasi ini terbentuk, maka reputasi ini sulit diguncang. Bertindak jujur dan rendah hati dengan hati terbuka pasti bisa meruntuhkan bahkan menjadi benteng dan kuda troya dari lawan kita.

Pesan dari tulisan ini bahwa politik bersih yang jauh dari kampanye hitam adalah lebih elegan dan mengakar daripada politik kotor yang hanya mengejar elektabilitas sesaat. Jalan pintas serba instan merekrut opinion survei, kampanye iklan politik di berbagai media, membuat opini palsu, menciptakan desas desus miring, dan lain sebagainya hanya menghabiskan energi dan biaya yang sangat besar. Maksud hati mendongkrak elektabilitas apa daya setelah berbulan-bulan elektabiltas tidak kunjung naik. Andai saja biaya yang bermilliar-milliar dan energi yang begitu besar tadi diarahkan untuk perbaikan pendidikan dan kesehatan rakyat kecil, sudah berapa banyak masyarakat kita yang bisa terangkat kesejahteraan dan derajatnya.

The Mothers for a Moral Indonesia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun