Pemadaman listrik bergilir yang sering terjadi di Indonesia belakangan ini sangat meresahkan masyarakat. Apalagi yang terjadi secara tiba-tiba. Kehidupan modern saat ini sangat tidak memungkinkan tanpa adanya energi listrik. Manusia membutuhkannya hampir disemua lini kehidupan. Baik dirumah tangga, pertokoan, perkantoran, pabrik, rumah sakit, sekolah, dijalanan, ataupun ditempat-tempat umum lainnya.
Kebutuhan listrik di Indonesia saat ini sebagian besar disupply dari sumber energi fosil. Dalam beberapa waktu terakhir ini, harga minyak, gas dan batu bara mengalami kenaikan yang sangat berarti. Cadangan sumber energi pun semakin menipis dari tahun ke tahun. Berdasarkan data dari IEA (International Energy Agency), cadangan untuk minyak bumi akan bertahan sampai sekitar 41 tahun, gas bumi sekitar 67 tahun, dan batu bara sekitar 192 tahun ke depan.
Kalau data tersebut dipecah lagi berdasarkan kontribusi per negara, Indonesia khususnya, termasuk dalam peringkat 13 dunia untuk cadangan gas bumi, peringkat 15 dunia untuk cadangan batu bara, dan peringkat 27 dunia untuk minyak bumi dengan nilai kontribusi sebesar 0,29 persen cadangan dunia.
Dari segi konsumsi listrik, rata rata watt/kapita untuk Indonesia adalah 55,3 watts. Jauh jika dibandingkan dengan Amerika1460 watt/kapita dan Jerman 753 watt/kapita. Itupun dengan kenyataan bahwa masih ada 1/3 rakyat Indonesia yang belum mendapat akses listrik (data Susenas).
Melihat data diatas sepertinya sangat ironi dengan kondisi energi di tanah air. Cadangan sumber energi kita cukup tapi masih banyak daerah yang belum terjangkau listrik. Dengan kapasitas terpasang seperti sekarang saja (belum 100 persen) kita sudah kritis duluan.
Permasalahan listrik kita karena kurangnya perhatian yang serius dari pemerintah akan masa depan dan kesejahteran generasi negeri ini kedepan! Kedengarannya sepele tapi dampaknya seperti saat ini (krisis energi). Bagaimana tidak, permasalahan sebenarnya sederhana, karena tidak seimbangnya permintaan dan penawaran. Kenaikan permintaan tidak dibarengi dengan pasokan listrik yang memadai. Peradaban makin modern dan perubahan gaya hidup cenderung meningkatkan permintaan. Semakin tinggi pendapatan masyarakat, tingkat konsumsi non makanan seperti hiburan (elektronik, TV, gaming, internet, dll) juga meningkat. Data proyeksi konsumsi listrik kita ada tapi tindakan preventifnya yang nihil. Kebiasaan negara kitakan, nanti kalau sudah terjadi baru grasa grusu cari solusi.
Kembali ke masalah supply tadi, teori ekonomi klasik mengatakan apabila supply terbatas maka harga akan terpengaruh naik. Tapi tidak di Indonesia karena ada skim subsidi dan harga (Biaya produksi Rp. 1300 per kwh, harga jual Rp 630 per kwh), akibatnya penawaran terbatas, pemain baru/investor enggan masuk karena tidak profitable disebabkan harga jual ditentukan pemerintah sedangkan biaya input mengikuti pasar. Belum lagi dengan raw materialnya (batu bara) lebih menguntungkan bagi produsen apabila dijual keluar daripada ke lokal (Rp. 400 ribu dibanding Rp. 270 ribu per ton).
Jerman saja yang masih menganut paham sosial meliberalkan sistem energinya. Tak kurang ada sekitar 876 perusahaan produsen listrik di Jerman. Akibatnya persaingan tajam, harga bersaing, costnya transparan, konsumen pun diuntungkan. Rata rata harga per kwh EUR 0,22 cent atau sekitar Rp. 3080 per kwh. Selain tarif per pemakaian mereka juga menjual dengan sistem paket. Ada paket flatrate 2000kwh/thn sampai 10.000kwh/thn, paket 3 bulan/1 tahun/2 tahun, sehingga harga per kwh-nya akan lebih murah. Iklan mereka pun tidak kalah kreatif dengan iklan operator selular.
Kalau sistem energi kita dibuka, masyarakat akan punya pilihan. Mau pilih harga subsidi tapi sering byarpet alias mati lampu atau harga normal tapi tentunya dengan pelayanan yang lebih baik. Kebijakan ini nantinya juga akan meningkatkan kebiasaan berhemat di masyarakat. Mereka akan berpikir dua kali untuk membiarkan listrik menyala tanpa diperlukan. Ibarat pulsa hp, akan disayang sayang dan hanya digunakan jika benar benar perlu.
Kemudian dari sudut pemerintah mengapa subsidi dipertahankan lebih karena alasan politis, meredam gejolak akar bawah dan mengamankan kekuasaan. Program jangka pendek untuk memenuhi hayat hidup segelintir orang bukan jangka panjang untuk hayat hidup orang banyak. Bukankah orang tua yang bijak akan tetap mengobati anaknya yang sakit meski terkadang obatnya pahit.
Dampak harga tentu akan mempengaruhi sektor ekonomi lain. Setiap upaya liberalisasi harga listrik untuk masyarakat golongan bawah sebanyak 10 persen, menyebabkan income riil golongan rumah tangga turun sampai sekitar 5,26 persen (Makmun-Abdurahman, 2003). Dan tentunya menyebabkan permintaan terhadap sektor industri akan berkurang. Hal ini bisa diikuti dengan upaya meningkatkan lapangan pekerjaan, peningkatan pendapatan, dan merangsang sektor industri untuk menciptakan produk yang bernilai tambah dan utiliti tinggi.
Untuk input faktor (batu bara) sebaiknya diberlakukan sistem quota untuk memenuhi kebutuhan nasional terlebih dahulu baru kemudian diekspor. Ingat kasus palm oil, kenapa harga minyak goreng waktu itu tinggi padahal kita produsen utama. Karena pemerintah tidak menetapkan sistem quota terhadap produsen. Tetapi begitu harga minyak turun, produsen minta-minta untuk dilindungi.
Sementara untuk masyarakat diberikan penyuluhan atau edukasi tentang hemat energi secara personal dan disiarkan (live on tv), bukan sekedar anjuran berupa iklan layanan masyarakat. Baik itu dari sistem energi, penghitungan pemakain listrik, tips berhemat, sampai ke pemilihan perangkat elektronik. Kalau kebiasaan ini terbentuk dimasyarakat, otomatis para produsen elektronik pun berinovasi dan kreatif menciptakan produk hemat energi. Semoga byarpet listrik nusantara segera dapat teratasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H