Dilema Walikota Surabaya Di Tengah Pusaran Politik Demokrasi
Setelah Walikota Surabaya Tri Rismaharinitampil dalam acaraMata NajwadiMetro TV, Rabu (12/2/2014) malam, kata kunci "Bu Risma" menjadi "Indonesia trending topic" warga Indonesia dimedia jejaring sosial. Acara tersebut mengorek seputar isu pengunduran dirinya dari jabatan walikota. Dari sana dapat diambil kesan bahwa ia menghadapi tekanan terkait tanggung jawabnya sebagai walikota, baik dikarenakan keberaniannya untuk menutup lokasi pelacuran terbesar di Indonesia, Dolly, maupun karena intrik-intrik politik dari pihak-pihak yang ingin menggeser posisinya. Namun, dari sana justru masyarakat menjadi sangat bersimpati, khususnya masyarakat Surabaya tidak ragu lagi mendukung nya untuk tetap menjadi walikota.
Demokrasi telah menghantarkan Bu Risma naik ke kursi kekuasaan.Dengan kemampuannya yang sudah cukup teruji sebagai birokrat dan motifnya bukan mengejar kekuasaan, juga kepekaan dan ketelatenannya sebagai seorang ibu menjadikan kepemimpinannya sebagai Walikota Surabaya telah membawa kota tersebut lebih maju sehingga beberapa penghargaan pun diraih Bu Risma. Hanya saja, beberapa keputusan maupun kebijakannya yang dirasakan mengganggu pihak-pihak tertentu yang selama ini mendapatkan keuntungan, membuat posisinya digoyang atas nama demokrasi. Mengapa?
Demokrasi secara konsep adalah sebuah sistem politik yang lahir atas asas sekulerisme ini ditopang oleh nilai-nilai kebebasan, baik kebebasan berpendapat, berekspresi, kepemilikan, maupun beragama. Sistem seperti ini cocok bagi sistem ekonomi kapitalisme. Karenanya, demokrasi sendiri yang meniscayakan adanya tarik menarik kepentingan dan perebutan kekuasaan. Dan pemilik modal-lah penguasa hakiki. Demokrasi penuh dengan paradoks. Oleh karena itu, fenomena Bu Risma ini membuktikan dua asumsi sekaligus yakni sebaik apapun sosok pemimpinnya, namun ketika menabrak kepentingan pemilik modal atau nilai-nilai fundamental demokrasi itu sendiri, maka posisinya akan digoyang hingga diturunkan. Dan tampilnya perempuan sebagai pemimpin tidak membawa perubahan yang signifikan di tengah pusaran politik demokrasi. Pantaslah kiranya Winston Churchill
United Kingdom House of Commons (1947) pernah menyatakan demokrasi adalah bentuk pemerintahan terburuk dari semua bentuk pemerintahan yang pernah docoba dari waktu ke waktu. Bahkan Socrates dan Plato pun sangat menentang demokrasi pada masa Yunani kuno.
Sejatinya, umat yang terurus dengan sistem politik yang benar tentu akan menjadi umat yang mulia dan sejahtera sebagaimana umat Islam terdahulu. Kondisi tersebut terjadi karena umat Islam dahulu diurusi dengan sistem politik Islam yakni khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Sistem khilafah dibangun atas aqidah Islam yang menjadikan kedaulatan di tangan Syariah (sistem aturan yang Allah SWT berikan) dan kekuasaan di tangan umat. Oleh karena itu, penguasa (khalifah) diangkat dan dibaiat oleh umat hanya untuk menerapkan Syariah. Khalifah dituntut bekerja keras mengurusi umat dan seluruh warga negaranya baik muslim maupun non muslim ahlu dzimmah berdasarkan Syariah. Hal ini dapat kita lihat salah satu contohnya ketika Khalifah Umar bin Khaththab memanggul sendiri karung berisi gandum demi memenuhi kebutuhan sebuah keluarga yang membutuhkan. Karena tanggung jawabnya yang sangat besar sebagai penguasa dan pasti akan selalu berinteraksi dengan siapapun, tanpa menafikan kecerdasan dan kemampuan perempuan, maka dapat kita pahami bahwa Islam memberikan jabatan penguasa hanya kepada laki-laki. Islam memberikan kemuliaan kepada perempuan sebagai ibu yang memiliki peran strategis yakni menyiapkan calon-calon pemimpin yang akan meneruskan kepemimpinan umat dalam sistem Islam yang membawa kebaikan bagi seluruh alam. (Nur izzah, Mahasiswi, Bandung, 089611218009)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H