Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) adalah tiga permasalahan utama yang telah lama menjadi momok di Indonesia. Meskipun KKN bukanlah isu baru, ekspektasi masyarakat terhadap praktik anggota meningkat sejak Jokowi menjabat sebagai presiden pada tahun 2014. Dengan latar belakang sebagai pemimpin daerah yang dikenal bersih dan transparan, Jokowi membawa harapan besar untuk memberantas korupsi dan menghapus praktik nepotisme serta kolusi di tingkat pusat dan daerah. daerah. Namun seiring berjalannya waktu, muncul pertanyaan mengenai apakah upaya pemerintah dalam mengatasi KKN benar-benar efektif atau hanya menjadi janji yang sulit diwujudkan.
Korupsi di Era Jokowi Langkah Progresif atau Sekadar Simbolis?
Pada awal masa kepemimpinan Jokowi, upaya pemberantasan korupsi dilakukan secara agresif. Hal ini tampak dari banyaknya pejabat tinggi yang ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kasus-kasus besar seperti korupsi e-KTP, korupsi pengadaan alat kesehatan, hingga korupsi dana bansos covid-19 menjadi sorotan publik dan mencerminkan keberanian pemerintah dalam mengungkap kasus-kasus yang melibatkan pejabat tinggi. Meski demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa korupsi masih menjadi permasalahan yang rumit. Data dari Transparency International pada tahun 2020 menunjukkan bahwa Indonesia berada pada posisi ke-102 dari 180 negara dalam hal indeks persepsi persepsi korupsi, dengan skor 37 dari 100. Meskipun ada perbaikan kecil dibandingkan tahun sebelumnya, skor ini masih menunjukkan bahwa korupsi tetap menjadi masalah serius di Indonesia satu langkah kontroversial yang terjadi selama masa Jokowi adalah revisi Undang-Undang KPK pada tahun 2019, yang dianggap sebagai upaya untuk menghapuskan lembaga antikorupsi tersebut. Revisi ini membatasi sejumlah kewenangan KPK, termasuk dalam hal penyadapan dan proses penyelidikan, yang sebelumnya dianggap sebagai alat ampuh dalam mengungkap korupsi di kalangan pejabat tinggi. Banyak aktivis antikorupsi dan masyarakat menilai bahwa revisi ini berdampak negatif terhadap efektivitas KPK dalam menangani kasus-kasus korupsi yang melibatkan aktor besar. Pemerintah berargumen bahwa revisi tersebut bertujuan untuk memperkuat KPK dan meningkatkan profesionalisme lembaga tersebut, namun pandangan ini diragukan oleh sebagian besar masyarakat.
Pemerintahan, Infrastruktur dan BUMN
Kolusi merupakan salah satu bentuk KKN yang melibatkan kerjasama antara pihak-pihak yang memiliki kepentingan untuk memperoleh keuntungan secara tidak sah. Pada masa pemerintahan Jokowi, kolusi sering kali menjadi isu dalam proyek-proyek infrastruktur dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Infrastruktur adalah salah satu program unggulan Jokowi, yang mencakup pembangunan jalan tol, bandara, pelabuhan, dan jalur kereta api di seluruh negeri. Namun, proyek besar ini juga diwarnai dengan tuduhan adanya kolusi dalam proses tender dan pemilihan mitra proyek. Dalam beberapa kasus, perusahaan yang terlibat dalam proyek infrastruktur pemerintah memiliki ikatan dengan aktor-aktor politik atau pengusaha yang dekat dengan pemerintah. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai apakah proyek-proyek tersebut diberikan berdasarkan kapabilitas perusahaan atau karena adanya hubungan tertentu. Pengamat ekonomi juga menyoroti bagaimana BUMN sering kali dipilih sebagai pelaksana proyek besar tanpa proses tender yang transparan, sehingga membuka celah untuk praktik kolusi. Sementara pemerintah menyatakan bahwa BUMN dipilih karena memiliki kapasitas untuk menjalankan proyek besar, kritik dari kalangan masyarakat tetap tidak terbendung karena kurangnya keterbukaan dalam pemilihan mitra proyek tersebut.
Nepotisme dalam Lingkar Kekuasaan.
Nepotisme di era Jokowi menjadi isu yang menarik perhatian publik, terutama karena adanya keterlibatan anak dan menantunya dalam pemerintahan daerah. Putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, terpilih sebagai Wali Kota Solo, sementara menantunya, Bobby Nasution, menjadi Wali Kota Medan. Meskipun Jokowi menyatakan bahwa keluarganya tidak menerima keistimewaan apa pun, keterlibatan mereka dalam politik menuai kritik dari berbagai kalangan yang menilai hal ini sebagai bentuk nepotisme. Fenomena ini semakin diperburuk dengan munculnya kasus-kasus yang melibatkan orang-orang dekat presiden. Misalnya, pada tahun 2021, sebuah laporan mengungkapkan dugaan nepotisme dalam pengelolaan dana desa di sejumlah daerah. Meskipun kasus ini tidak terkait langsung dengan keluarga presiden, pola serupa terlihat dalam cara orang-orang terdekat dengan lingkaran kekuasaan mendapatkan akses yang lebih besar terhadap sumber daya dan proyek pemerintah. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa nepotisme masih tumbuh subur di kalangan elit politik, bahkan di era pemerintahan yang digadang-gadang sebagai pemerintahan bersih.
Kebijakan Digitalisformasi Birokrasi Mampukah Menekan KKN?
Salah satu kebijakan Jokowi yang dianggap sebagai langkah untuk mengurangi KKN adalah penerapan sistem digitalisasi dalam pelayanan publik dan pemerintahan. Digitalisasi bertujuan untuk meningkatkan transparansi, mengurangi interaksi langsung antara masyarakat dengan pegawai pemerintah, serta meminimalisir kemungkinan terjadinya suap atau kolusi. Beberapa layanan publik, seperti e-budgeting, e-procurement, dan e-tax, diimplementasikan untuk memastikan bahwa proses administrasi dilakukan dengan lebih transparan.
Namun penerapan sistem digital ini masih mengatasi banyak kendala di lapangan. Di sejumlah daerah, infrastruktur untuk mendukung digitalisasi masih minim, dan sumber daya manusia belum sepenuhnya siap untuk beradaptasi dengan sistem baru ini. Selain itu, penerapan digitalisasi tidak serta merta menghilangkan praktik kolusi dan korupsi, karena masih ditemukan kasus manipulasi data dan disebabkan oleh sistem oleh oknum tertentu. Dengan kata lain, meskipun digitalisasi adalah langkah positif, upaya ini memerlukan pengawasan ketat agar benar-benar efektif dalam mengurangi KKN .
Bisakah Negara Kita Lepas dari Bayang-bayang KKN?
Di sisa masa jabatannya, Jokowi menghadapi tantangan besar untuk membuktikan bahwa pemerintahannya benar-benar berkomitmen dalam anggota KKN. Banyak pihak berharap bahwa langkah-langkah yang diambil pemerintah tidak hanya sebatas simbolis, tetapi juga menghasilkan perubahan nyata di lapangan. Selain itu, keterlibatan masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat dalam pengawasan pemerintahan perlu ditingkatkan agar masyarakat dapat berperan aktif dalam mengawasi penyelenggaraan pemerintahan. Keterbukaan data dan transparansi adalah kunci utama untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN. Pemerintah perlu memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat terhadap informasi mengenai penggunaan anggaran, pelaksanaan proyek, dan proses tender. Langkah ini akan membantu masyarakat dalam mengawasi kinerja pemerintah dan mencegah terjadinya praktik-praktik KKN yang merugikan negara .
Di era pemerintahan Jokowi ini , kolusi, dan nepotisme masih menjadi masalah yang kompleks dan memerlukan perhatian serius. Meskipun berbagai upaya untuk menjadi anggota KKN, hasilnya belum sepenuhnya memenuhi harapan masyarakat. Penguatan sistem hukum, reformasi birokrasi, dan digitalisasi adalah langkah positif yang diambil pemerintah, namun tantangan untuk memastikan keberhasilan langkah-langkah ini masih sangat besar.
Jawaban dari pertanyaan mengenai keberhasilan pemerintah dalam mengatasi KKN mungkin belum sepenuhnya bisa dijawab saat ini. Meski begitu, dengan berbagai langkah yang diambil serta peran masyarakat yang semakin kritis, harapan untuk Indonesia yang bebas dari KKN tetap ada. Warisan terbesar yang bisa ditinggalkan Jokowi adalah komitmen terhadap pemerintahan yang bersih, transparan, dan bebas dari bayang-bayang KKN demi masa depan bangsa yang lebih baik.