Sunyi bercerita manja. Ia bilang dari desa. Dari gelap jalan-jalan setapak dengan lumpur basah. Dinginnya yang menyelinap menyergap di sebelah rumah adalah ciri khas. Ia mencoba mencari celah, menembus mimpi tengah malam. Ia ingin asa bahagia. Sunyi bercerita manja. Ia telah lama pergi. Menghampiri hingar bingar kota raya. Demi lembaran kertas berharga yang tak tahan ia tolak. Demi ibunya. Demi adiknya. Padahal ia baru enam belas. Sunyi bercerita manja. Ia ceria. Malam adalah sahabat. Dingin menyambut penuh suka cita. Ia laku keras dikejar nafsu buas. Nafas memburu begitu dekat di telinga. Tubuh sintal sukses menjadi objek permainan gila. *** Suatu malam. Sunyi bercerita manja lagi. Laki-laki liar yang dinanti tak kunjung tiba. Biasanya ia manis menggoda. sedikit banyak menggoda mata dengan paha. Apa daya malam ini laki-laki tak ada. Padahal ia sudah banting harga. Maka sunyi hanya membakar dahaga dengan peluh yang diseka. Sunyi tidak tahu mengapa. Senyumnya mulai tidak ramah. Ia menggugat. “Aku kurang apa?” begitu katanya. Dulu ia primadona. Enam belas begitu banyak yang suka. Sekali lagi, sunyi menggugat. Ia ingin alasan. Kota tidak lagi ramah. Malam bukan lagi sahabat karib. Dingin kota hanya membuat perih luka. Ia bilang rindu desa. Rindu gelap jalan-jalan setapak dengan lumpur basah. Dinginnya yang menyelinap menyergap di sebelah rumah. Ia rindu bau sawah. Ini sunyi [caption id="attachment_156749" align="aligncenter" width="298" caption="Ini sunyi"][/caption] Sunyi bercerita manja. ____________________________________ Cerita gadis belia desa yang banyak terdampar di lokalisasi demi lembaran kertas berharga. Sumber gambar klik disini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H