[caption id="attachment_150723" align="alignleft" width="300" caption="Cita-cita saya dulu"][/caption] Teman saya tertawa terbahak-bahak ketika saya bilang saya merindukan dunia mahasiswa. Hahaha...entahlah, sepertinya memang hal ini patut untuk ditertawakan. Semua yang mengenal saya mungkin juga akan tertawa, lebih terbahak-bahak lagi. Saya sebenarnya termasuk mahasiswa yang pemalas kuliah waktu itu. Mungkin karena sedari awal saya tidak pernah benar-benar berniat kuliah. Saya ingin menjadi TNI. Masuk Akademi Militer 4 tahun yang lalu itu adalah cita-cita saya. Namun apa daya, saya malah terdampar di dunia yang katanya sebagai sebagai tempat berkumpulnya agen of change. Sudah lupakan sejenak tentang dunia mahasiswa. Lain waktu akan saya ceritakan suka duka saat menjadi mahasiswa. Saya lebih ingin kembali mengingat kenapa saya akhirnya bisa gagal masuk Akademi Militer. Gagal menjadi TNI, angkatan darat. *** Saya seorang Purna Paskibraka Indonesia. Rasa-rasanya hal yang wajar seorang Purna Paskibraka ingin melanjutkan hidupnya ke jenjang yang memang berkaitan dengan dunia yang erat kaitannya dengan , menjadi militer adalah salah satunya. Saya sangat optimis, optimis sekali akan menjadi salah satu anak muda terpilih, calon patriot bangsa. Optimisme saya akan lolos masuk Akademi Militer sangat kuat. Begitu optimisnya saya, sampai-sampai hal lain yang biasa dilakukan seorang anak SMA kelas 3, yaitu mencari formulir untuk masuk PT tidak saya lakukan. Inilah mungkin kesombongan yang saya lakukan. Modal sertifikat Paskibraka membuat saya sangat merasa akan lolos. Test demi test saya ikuti. Untuk wilayah Jawa Barat, test dilakukan 2 kali, di Korem Garut dan di Kodam Siliwangi Bandung. Test pertama adalah administrasi. Hasilnya lolos, Alhamdulillah. Test kedua, fisik awal. Alhamdulillah, lolos. Keberangkatan pertama untuk seleksi waktu itu, ikut menyertakan orang tua. Orang tua ditempatkan terpisah dengan anak. Orang tua diberi pengarahan tersendiri. Entahlah, saya juga kurang mengerti awalnya, apa yang dilakukan orang tua dan jenderal-jenderal di dalam ruangan itu. Saya hanya fokus dengan seleksi saya. Tiba seleksi kesehatan. Semua dicek. Kondisi tubuh saya, dicek. Bahkan organ kepribadian saya pun dicek. Pengecekan organ vital ini yang menjadi pengalaman tersendiri untuk saya. Sebelumnya, teman-teman saya sesama calon yang ikut seleksi sempat berkelakar, kalau test bagian ini dilakukan oleh perwira TNI wanita. Dasar anak baru gede, kami semua semangat sekali melewati test bagian ini. Kami berjejer 10 orang di sebuah ruangan. Memakai kaos dan celana pendek. Pintu perlahan terbuka. Ada seorang perwira bersiap masuk. Kami semua sudah saling senggol. Saya yakin semua memikirkan yang datang adalah seorang perwira wanita. Ternyata...yang datang adalah seorang pria berkumis, lengkap dengan kaos tangan yang biasa dipakai dokter ketika operasi. saya yakin semua kecewa, termasuk saya. "Buka baju kalian". Begitu teriak perwira itu. Serentak kami membukanya. "celananya juga". Kami menurutinya lagi, membuka celana pendek kami. "Celana dalamnya juga donk". Kami saling melirik satu sama lain. Maksud Perwira itu, kami harus telanjang. Hati-hati kami membuka celana dalam kami. Hal yang paling susah ditahan untuk tertawa adalah, ketika semua sudah telanjang bulat. Kami saling cengengesan, sambil sesekali saling lirik, seakan-akan penasaran akan bentuk satu sama lain. Tiba saatnya pengumuman. Semua kemudian dipanggil satu-satu. Terlihat yang kemungkinan lolos seleksi berikutnya dipisahkan, termasuk saya. Namun, diakhirm saya kembali dipanggil. Saya disuruh untuk kembali menimbang berat badan. Ada 6 perwira sedang duduk manis di depan. Saya mengukur berat badan. Hasilnya 51 kg. "Kamu bagus badannya, tapi kecil, tidak ideal dengan tinggi badan kamu". Salah satu perwira berbicara demikian kepada saya sesaat setelah saya mengukur berat badan. Kami semua berkumpul di sebuah selasar. Ada yang duduk, ada pula yang berdiri. Kami dipanggil satu persatu. "Rizal...tidak lolos, kekurangan berat badan 3 kg, seharunya minimal 54 kg". Saya lemas. Bingung. Tidak percaya. Sungguh, terasa runtuh semuanya. Inilah jalannya, saya tidak lolos test akhir kesehatan hanya gara-gara kurang berat badan 3 kg. *** Setahun kemudian, setelah saya masuk di sebuah Universitas negeri, ibu saya mengajak saya bicara panjang lebar ketika saya pulang ke rumah. Beliau ingin membicarakan tentang cita-cita saya masuk TNI. "Aa...masih pengen masuk TNI? Mamah cuma mau minta maaf sama aa. Sepertinya, aa gagal masuk TNI itu gara-gara mama" Saya heran. "Kenapa?" "Sejak pertama orang tua anak dikumpulkan, mamah langsung berdoa setiap kali mamah sholat agar aa nggak lolos seleksi TNI. Kalau aa tau, waktu dikumpulkan orang tua itu, disana ditayangkan bentuk-bentuk pendidikan yang akan dijalani, sampai ada satu tayangan, pasukan ditembaki untuk menguji nyali. Maafin mamah ya a, mamah takut aa kenapa-kenapa." Saya kaget bukan main. Mungkin ini memang jalannya. Satu hal yang saya percaya adalah, kasih ibu sepanjang hayat, tentu sudah mempunyai perkiraan matang ketika memutuskan hal tersebut. Andai saat itu saya tetap jadi TNI, mungkin saya tidak akan tahu indahnya dunia mahasiswa. Inilah hikmahnya, saya tahu dunia mahasiswa begitu sulit untuk ditnggalkan, memberikan kenangan tersendiri, apalagi untuk yang pernah menggelorakannya dalam aksi-aksi jalanan sebagai agen of change. ______________________________________ Ketika ingat masa lalu, he..he.. Sumber gambar klik disini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H