[caption id="attachment_154178" align="alignleft" width="300" caption="Stop!"][/caption] Rasa-rasanya sudah banyak sekali tulisan-tulisan yang mengkritisi semakin tingginya konsumsi rokok di negara kita. Berbagai bahaya yang menyangkut gangguan kesehatan pun tidak sedikit yang beredar. Namun rupanya, hal itu belum berpengaruh besar pada penurunan konsumsi rokok tersebut. Alih-alih ingin menyadarkan masyarakat luas tentang bahaya rokok, ternyata yang ada adalah konsumsi rokok terus menerus meningkat setiap tahunnya. Hari ini (31/05) sejak tahun 1988 dunia menyepakati tanggal 31 Mei sebagai Hari Tanpa Tembakau Se-dunia (HTTS). Tema Hari Tanpa Tembakau Se-dunia tahun 2010 ini menurut press release Kementrian Kesehatan RI adalah ”Gender and Tobacco with an Emphasis on Marketing to Women”. Tema ini berkaitan dengan upaya global dalam mengendalikan jumlah perokok terutama kelompok berisiko yaitu anak-anak dan wanita dari bahaya asap rokok. Sedangkan di Indonesia, temanya adalah “Gender dan Rokok dengan penekanan pemasaran pada perempuan”. Selain tema, juga ditetapkan slogan “Saatnya kita lindungi anak dan perempuan dari bahaya rokok”. Permasalahan penanggulangan rokok sejatinya harus dipahami merupakan tanggungjawab semua pihak. Pemerintah dalam hal ini tentu sangat berperan besar dalam membuat aturan-aturan yang dapat membatasi akses masyarakat untuk menggunakan rokok dalam kehidupan sehari-harinya. Perlu ada aksi nasional yang masif untuk menggerakan seluruh potensi dalam rangka mencegah semakin tingginya konsumsi rokok ini. Komitmen tanggung jawab yang diberikan segenap lapisan seharusnya diimbangi dan didahului dengan keseriusan komitmen pemerintah yang kuat untuk menyelesaikan masalah ini. Seperti kita ketahui, perdebatan tentang rokok ini seringkali berujung buntu. Pemerintah seakan tidak berdaya jika dihadapkan pada realitas sumbangan besar produsen rokok terhadap devisa negara. Selain itu, permasalahan buruh yang bekerja di perusahaan-perusahaan rokok bahkan juga petani tembakau yang berperan sebagai pemasok tembakau, seringkali dijadikan tameng untuk menggoyahkan pendirian komitmen pemerintah dalam menanggulangi bahaya rokok tersebut. Faktanya memang industri rokok bersembunyi nyaman dibalik keringat buruh dan petani. Kiranya, solusi bijak dari permasalahan tersebut tentu bukan dengan serta merta menutup perusahaan-perusahaan rokok, melainkan dengan membatasi peredaran rokok itu sendiri. Aturan ketat terutama dalam hal pemasaran perlu benar-benar dirumuskan agar tidak semakin banyak masyarakat kita terutama kalangan muda yang dapat mengakses produk tembakau tersebut dengan mudah. Beberapa hal yang bisa dilakukan adalah larangan industri rokok untuk menayangkan iklan rokok di media apapun, termasuk untuk kepentingan sponsorship maupun corporate social responsibility (CSR) seperti yang diharapkan dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang tembakau. Selain itu, memberikan pengetatan bentuk kemasan dengan manampilkan gambar-gambar akibat bahaya rokok seperti yang dilakukan di negara lain. Jangan sampai peringatan-peringatan yang ada seakan-akan hanya sebagai bentuk olok-olok terhadap arti penting kesehatan. Hal uniknya lain adalah, media sebagai salah satu kontrol sosial pun seakan-akan tidak berdaya. Iklan-iklan tandingan berupa penolakan terhadap keberadaan rokok dan atau iklan-iklan yang menayangkan tentang bahaya konsumsi rokok jarang sekali kita lihat bahkan nyaris tidak ada. Seorang anggota DPR menyebutkan Iklan-iklan tandingan tersebut seringkali ditolak oleh media. Hal ini jelas menunjukan bahwa media pun tidak ingin kehilangan sumber bayaran yang besar dari industri rokok. Sungguh sebuah ironi. Memang terkesan terlalu egois andai hanya menyerhanakan permasalahan rokok ini sebatas wilayah perdebatan antara yang tidak merokok terganggu kenyamanannya oleh yang tidak merokok. Semua sering berdalih mempunyai hak asasi. Namun andai semua berorientasi tentang masa depan, mungkin akan lain ceritanya. Anak dan perempuan menjadi kalangan yang sangat rentan untuk terpapar baik secara pasif bahkan secara aktif menggunakan. Kita semua akan melahirkan masa depan. tentu sangat keterlaluan jika atas nama hak asasi kita hanya meikirkan jamannya kita hidup. Anak dan Perempuan Adalah Kelompok Beresiko [caption id="attachment_154174" align="alignright" width="225" caption="Dia begitu sayang terhadap anda, bagaimana dengan anda?"][/caption] Meningkatnya konsumsi rokok di masyarakat kita, tentu seharusnya menjadi sebuah keprihatinan tersendiri. Bagaimana kemudian dewasa ini, wanita dan anak dalam setiap keluarga menjadi orang-orang yang dapat dengan mudah terpapar asap rokok. Dalam waktu mendatang, perilaku merokok tersebut sangat mungkin ditiru oleh anak-anak yang melihatnya. Global Youth Tobacco Survey (GYTS) Indonesia tahun 2006 melaporkan seperti yang dilansir Kementrian Kesehatan RI, 64,2% anak sekolah yang disurvei terpapar asap rokok selama mereka di rumah. Sebanyak (37,3%) pelajar merokok, dan 3 diantara 10 perlajar pertama kali merokok sebelum berumur 10 tahun (30,9%). Data diatas tegas menyebutkan bahwa anak-anak menjadi sasaran empuk yang sangat rentan akan terpapar rokok dengan mudah. Entah itu hanya sebagai perokok pasif atau pun bahkan menjadi perokok aktif. Rokok seakan bukan lagi menjadi barang yang aneh keberadaannya di setiap rumah-rumah. Akibat yang mengiringi ketika anak atau perempuan terpapar asap rokok memiliki dampak yang signifikan terhadap meningkatnya penyakit-penyakit akibat rokok. Perempuan dianggap tema penting, karena kaum ini adalah 20% dari 1 milyar perokok di dunia. Namun, wabah penggunaan tembakau di kalangan perempuan meningkat di beberapa negara. Perempuan merupakan target utama untuk industri tembakau agar menambah jumlah perokok baru sebagai pengganti dari perempuan yang mati prematur dari penyakit akibat tembakau.klik disini Sebagian besar dari konsumen rokok itu adalah kalangan menengah ke bawah. Orang-orang yang disebut miskin menurut standart BPS. Bagaimana kita bisa membiarkan realita bahwa seorang kepala keluarga atau bahkan seorang ibu lebih mementingankan uang yang dimilikinya untuk dibelikan sebungkus rokok daripada memikirkan gizi keluarga? Baru-baru ini kita tentu terkaget-kaget dengan berita kecanduannya seorang bocah umur di bawah 5 tahun akibat rokok. Bukan, dia bukan dari kalangan kaya raya. Pertanyaannya kemudian adalah, mau dibawa kemana bangsa ini? Terakhir dalam kesempatan kali ini saya kembali mengajak kawan-kawan semua untuk kembali merenung. seperti tulisan saya sebelumnya, saya tidak bermaksud menggurui. Saya yakin keinginan untuk berhenti ada dalam diri setiap manusia. Stiap usaha baik insya alloh akan diridhoi. Jika belum mampu untuk berhenti, merokoklah di tempat-tempat yang tidak merugikan orang lain, terutama anak dan perempuan. Ini hanya tentang pilihan kawan, apa yang bisa kita sumbangkan untuk masa depan? _______________________________________________ Memperingati Hari Tanpa Tembakau Se-Dunia, 31 Mei 2010 Apa yang bisa kita sumbangkan untuk masa depan? Sumber Gambar 1 Sumber Gambar 2
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H