[caption id="attachment_131353" align="alignleft" width="300" caption="Banyak Musim di Indonesia"][/caption] Setiap warga negara, kiranya sudah pasti ingin merasa berguna untuk tanah air tercintanya. Berbagai peran bisa dimainkan, sesuai kapasitasnya. Semua itu dilakukan sebagai wujud bangga, cinta dan keinginan yang besar untuk mengisi kemerdekaan yang telah susah payah diraih para pendahulu kita. Keinginan tersebut bisa jadi merupakan sebuah hak bahkan sebuah kewajiban yang harus dilakukan, demi bangsa dan negara. Peran-peran yang secara langsung terkait dengan upaya-upaya "membenahi" carut marut bangsa kita ini rupanya sedang banyak peminatnya. Menjadi aktor politik adalah salah satunya. Aktor politik yang nantinya berperan dalam proses kebijakan seperti anggota dewan perwakilan atau bahkan menjadi kepala daerah seakan menjadi daya tarik tersendiri. Banyak artis pada saat pemilu lalu dan bahkan pilkada di daerah-daerah yang belakangan ini ingin merasakan panasnya kursi pejabat. Modal popularitas seakan menjadi bekal yang cukup untuk bisa memenangkan persaingan dengan lawan politik lain. Tidak pandang bulu artis yang mana, asal artis semua nyalon. Kiranya semua sudah tahu siapa-siapa saja. Saya baca di sebuah koran, Ratu ekstasi Zarima pun berniat mencalonkan diri. Alasan utama yang sering kita dengar ketika mereka yang menamakan diri artis-artis ini maju bersaing menjadi pemimpin adalah rasa tergugahnya untuk bisa berperan demi bangsa dan negara. Memperbaiki carut-marut bangsa, memajukan daerah pemilihan seringkali menjadi pembenaran saat berbicara di depan umum. Kalau sudah bicara hak dan juga niat demi bangsa dan negara, memang tidak ada yang bisa dipersalahkan. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah benar mereka hanya bermodal populeritas saja siap bersaing? Siap memimpin jika menang? Sebutlah mereka juga (artis) punya modal finansial yang cukup, tapi masalahnya, ikut ajang pemilihan wakil daerah atau ikut andil dalam pilkada bukan soal memang kalah saat bersaing, melainkan soal hajat hidup orang banyak yang nantinya akan mereka pimpin. Menarik kiranya menanyakan sudah sejauh itukah mereka berpikir? Sempat beberapa yang lalu saya melihat dan mendengar dengan mata, telinga yang ada di kepala saya sendiri seorang calon menjawab pertanyaan dari seorang pembawa acara. Beliau (artis tersebut) ditanya perihal potensi daerah tempatnya mencalonkan diri menjadi pemimpin. Jawabannya adalah potensi daerah tersebut adalah gua. Lalu? Beliau kemudian menjelaskan bahwa daya tarik gua tersebut bukan tidak mungkin digunakan untuk pertemuan-pertemuan para dukun. Nah lho? sebatas itu? Dan memang jawaban yang aneh. Sempat pula ditanyakan kenapa artis tersebut membawa rekan artis lainnya yang berprofesi sebagai pengacara (artis). Apa jawaban beliau? Jawabannya adalah beliau itu merasa masih awam di dunia politik, jadi seandainya ada jawaban yang tidak bisa dijawabnya, maka rekannya itulah yang akan menjawab. Lagi-lagi saya tercengang dengan jawaban itu. Andai saja yang namanya bangsa dan negara itu bisa berbicara lantang, mungkin dia akan akan bertanya, "mau dibawa kemana?" Kenyataannya mereka tetap melaju, tetap melenggang dengan lagi-lagi niatnya "demi bangsa dan negara". Fenomena ini sejatinya adalah kegagalan partai politik dalam proses kaderisasi calon pemimpin. Pemahaman yang salah tentang kalah menang membawa bangsa ini semakin tidak karuan. Akhirnya demi menghamba pada sebuah kemenangan, mereka rela mempertaruhkan nasib hajat orang banyak pada orang-orang yang hanya bermodal finansial dan popularitas. Mempunyai niat mengabdi, berbakti, demi bangsa dan negara tidaklah salah. Namun seharusnya kita semua mampu untuk mengukur diri. Mengukur diri ini menjadi penting karena berbicara demi bangsa dan negara dengan menjadi seorang pemimpin bukan lagi bicara soal dirinya dan golongan pendukungnya, namun juga bicara tentang perjalanan saat kemenangan benar-benar diraih. Setiap kebijakan akan menjadi udara yang siap dihirup banyak orang. Mau tidak mau akan dihirup. Nah...pertanyaannya, udara apa yang akan dihirup banyak orang itu? Oksigenkah? Atau Karbondioksidakah? Bersiap-siaplah dengan segala kemungkinan-kemungkinan yang ada. Termasuk kemungkinan untuk menghirup racun udara berkedok kebijakan. Mati lemas juga adalah sebuah kemungkinan. ___________________ tulisan ini bukanlah sebuah bentuk pesimisme terhadap sebuah profesi (artis). Tulisan ini lebih sebagai bentuk keprihatinan, karena sejatinya berbicara soal pengabdian untuk bangsa dan negara haruslah disesuaikan dengan kapasitasnya masing-masing. Bahkan pemulung pun secara tidak langsung berbuat untuk bangsa dan negara. *** sumber gambar klik disini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H