Mohon tunggu...
Izal Aja Dulu
Izal Aja Dulu Mohon Tunggu... lainnya -

Biru

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Belajar Hidup Dari Pedagang Kerupuk dan Pemilik Warung Kecil

22 Mei 2010   08:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:02 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_147331" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi"][/caption] Hidup itu keras. Mengeluh bukanlah jalan terbaik, begitu juga menangisinya. Namun, silahkan mengeluh dan menangis jika memang akan membuat jiwa lebih kuat. Tak ada yang akan didapat dengan mudah begitu saja, semua harus ada tahapannya. Malam hari, sekitar jam 01.30 pagi (21/05). Daerah Slipi. Masih menunggu jemputan seseorang. Kami salah paham soal tempat pertemuan. Slipi yang saya maksud adalah tempat dimana saya biasa turun dari bis Bekasi yang lewat tol, di bawah jembatan layang, sekitar Slipi jaya. Akibatnya saya harus jalan kaki terlebih dahulu sampai tempat tersebut. Jauh, dari hotel Ibis. Dari jauh terlihat sebuah sepeda motor menghampiri, bukan ojek saya yakin. Ia membuka helmnya. "Ayo naik", begitu katanya. Saya naik. Sesekali tertawa karena kekonyolan saya yang jalan jauh dari Hotel Ibis ke daerah Slipi jaya. Padahal, tempat tinggal sementara yang akan menamung saya malam itu terletak di seberang Hotel Ibis, daerah slipi dengan permukiman padat. Kaget. Pemukiman padat. Ukuran rumah 3x2 Meter saja paling. Ada tumpukan kerupuk di bagian belakang. Ternyata beliau penjual kerupuk. Tidak ada kamar mandi. Itu saya ketahui ketika mau mengambil air wudhu, harus berjalan lagi beberapa ruma ke bangunan lain. Tempa MCK bersama. Silahkan bayangkan sendiri MCK di pemukiman padat bagaimana, saya agak bingung menjelaskannya. Setelah sholat, kami bergegas tidur. Kami berbincang-bincang sebentar menjelas tidur. "Syukuri apa yang ada sekarang, jangan putus asa untuk tetap melakukan yang terbaik. Namun, ada hal yang harus selalu diingat, lebih baik miskin harta dunia daripada miskin pahala bekal nanti di akherat. Titip idealismenya harus tetap dijaga" begitu katanya. *** [caption id="attachment_147333" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi"][/caption] Keesokan harinya, setelah sholat Jumat. Jam satu siang, saya dan pedagang kerupuk itu berniat pergi ke Tanggerang, daerah Cipondoh katanya. Saya tidak tahu itu dimana, saya hanya ikut saja. Pedagang kerupuk itu ternyata masih harus menyebarkan dagangannya, hal yang tidak dilakukannya pagi hari saat itu, mungkin karena ada saya. Saya memangku tumpukan kerupuk itu dibelakang. Ada dua tumpukan, sekitar 20 bungkus besar. Kami berutar-putar dari tempat satu ke tempat lainnya, rata-rata warung makan untuk menyimpan kerupuk yang kami bawa. Setengah jam kemudian semua kerupuk habis, alhamdulillah. Akan lebih banyak lagi yang terjual mungkin andai dilakukan sejak pagi hari. Kami sampai di Tanggerang. Masuk sebuah perumahan, saya lupa lagi namanya. Kami berhenti d tempat tujuan. Sebuah warung kecil di kompleks perumahan. Saya bersalaman dengan seoran perempuan yang terlihat asing. Wajahnya terliha lebih kusam dari terakhir kali saya bertemu dengannya 3 tahun yang lalu. Ada seorang laki-laki, beliau itu suaminya, saya pun menyalaminya. Warung kecil, ya..warung yang kecil, tidak lebih dari 2x4 meter mungkin. Kami duduk cukup lama. Rasa penasaran timbul. "Rumah teteh yang mana?" begitu tanya saya cukup untuk semua yang ada disitu, tersenyum miris. "Rumah teteh ya...warung ini. Teteh dan sie aa (baca:suaminya) tidur disini. Sempit memang, tapi semua aktivitas kami lakukan disini. Dulu malah teteh tinggal di lapak dorong yang kecil, ukuran 1,5x2 meter mungkin. Aa tidur di mesjid waktu itu, sekarang bersyukur sudah tinggal di tempat yang lebih besar, meskipun tetap kecil." Penjelasannya yanjang lebar. Saya bingung tentang perasaan saya. Miris, kasian, sedih, dan perasaan lainnya yang akhirnya memunculkan tanya dalam hati. "kenapa kalian harus hidup seperti ini?" Seakan mengerti kegelisahan saya, kesedihan yang saya rasakan, pemilik warung kecil itu kemudian bicara kembali. "Aa (panggilan sayang beliau untuk saya)...tidak usah sedih melihat keadaan ini, setiap hidup itu ada jalannya. Setiap cerita ada keindahannya. Setiap tahapan dalam hidup itu harus disyukuri. Hiduplah denga kasih sayang Alloh Swt. Niscaya tidak akan ada sesuatu kekurangan apapun yang akan terasa. Jangan putus asa bermimpi dan berusaha. Lakukan semua dengan hati. Jangan pernah berpikir untuk melakukan hal jahat pada orang lain meskipun kita hidup di kota besar." Saya ingin menangis, tapi saya laki-laki. Saya hanya terdiam. Hanya merinding. Namun linangan air mata memaksa keluar. Air mata akhirnya menetes. Saya ingin memeluknya, tapi itu tempat umum, ada perasaan canggung. *** Memikirkan apa yang kedua orang tadi ucapkan sungguh membuat hati saya bergetar. Itulah hidup mereka. Kelapangan mereka dengan keadaan hidupnya sekarang. Wejangan-wejangan yang diucapkannya cukup untuk membuat saya terkagum-kagum. Sombong sekali rasanya saya andai menganggap mereka semua miskin dengan keadaannya dan melihat mereka dengan iba. Sejatinya mereka itulah orang kaya. Mungkin saya yang miskin. _______________________________________________________________________________________________ *Penjual kerupuk itu suami dari kakak saya. Sementara pemilik warung kecil itu adalah kakak saya. Mereka itu anak dari kakak ayah saya. Mereka itu saudara saya. Saya bangga mempunyai saudara seperti mereka. Terima kasih kak, untuk pelajara hidupnya, untuk senjata paling ampuh yang menjadi bekal dalam hidup yang keras. Semoga saya dijauhkan dari sifat-sifat tinggi hati namun didekatkan selalu pada keinginan untuk beryukur. Sumber gambar 1 klik disini Sumber gambar 2 klik disini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun