Mohon tunggu...
Izal Aja Dulu
Izal Aja Dulu Mohon Tunggu... lainnya -

Biru

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bagai Pungguk Merindukan Bulan

1 Mei 2010   16:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:28 2949
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="attachment_131029" align="alignleft" width="300" caption="Bulan oh bulan"][/caption] Pernah berharap akan sesuatu hal yang sulit? Melakukan segala hal demi sebuah tujuan? Tentang apa? cinta? Barang? Jodoh? Pernahkah kemudian pada akhirnya kita merasa seperti peribahasa terkenal "Bagai pungguk merindukan bulan"? Kalau sudah begitu, akhirnya kita memang hanya tinggal banyak-banyak berdoa. Selamat berdoa ya... Tiba-tiba saja ingin membahas tentang peribahasa yang satu ini. Tentunya karena sebuah kejadian. Selain itu, merasa sudah begitu akrab di telinga sejak SD kalau tidak salah, karena dulu saya sempat ikut murid teladan tingkat SD dan salah satunya harus hafal banyak peribahasa untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia. dulu, masih ketika SD, saya masih ingat pertama kali merasa suka pada lawan jenis. Kelas 5 SD tepatnya. Entahlah, kecil-kecil kok sudah kenal rasa yang begitu-begitu. Suka ketawa-ketawi sendiri juga kalau ingat kejadian itu. Tentunya bukan semata-mata karena perasaannya, tapi lebih karena cinta pertama juga berarti penolakan pertama. Ya...saya di tolak. Bahkan dengan tidak hormat. surat cinta yang saya buat untuk pertama kalinya waktu itu, masih saya ingat betul akhirnya teronggok di tong sampah samping kelas. Hah? dibuang? Betul, dengan seenaknya saja, dibuang begitu saja. entahlah, apakah sempat dibaca lebih dulu isinya atau tidak, kalau tidak, tentu sangat keterlaluan bukan? Hahaha...kasian deh gue. Kejadian itu akhirnya berhasil membuat saya mampu belajar dari pengalaman. Hikmahnya adalah, selagi kecil, jangan dulu begitu-begituan, hahaha. Kejadian itu membuat saya belajar bahwa setiap keinginan tidak perlu terwujud. Apa yang menjadi harapan, belum tentu akan menjadi kenyataan. Hakekatnya, harapan itu memang hanya cukup diusahakan dan didoakan, soal hasil akhir, ada kekuatan yang lebih besar yang tidak kita ketahui akan memberikan jawaban apa. Berbicara tentang keinginan dan harapan (apa bedanya ya?) kadang kita dihadapkan pada beberapa pertanyaan mendasar. Apakah kita pantas? Mengharapkannya? Lebih-lebih memilikinya? Apa yang kita punya untuk mewujudkan harapan itu? Pertanyaan-pertanyaan di atas, bisa jadi sebuah pelecut semangat. Kita akan menjadi begitu bersemangat manakala jawaban dari pertanyaan itu dapat kita jawab dengan mudah. Namun bisa jadi pula pertanyaan itu adalah sebuah stimulus yang menuntut kita untuk bisa mengukur diri. Tidak usahlah berharap terlalu muluk-muluk, begitu biasanya orang tua kita mengingatkan andai apa yang menjadi harapan terasa begitu sulit direalisasikan. Hal yang bisa dilakukan jika akhirnya semua itu menuntut kita untuk bercermin, mengukur diri adalah diam. Diam mengukur diri. Bisa juga mempersiapkan diri, agar lebih baik. Mungkin banyak orang akan menyimpulkan diamnya kita itu adalah sebuah refleksi dari rasa rendah diri, minder, bahkan pengecut. Namun disitulah tantangannya. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan saat diam. Introspeksi diri. Berusaha menjadikan diri lebih baik. Meredam kekurangan dan menonjolkan kelebihan. Mencari peluang ditengah ancaman. Yakinlah pada akhirnya akan ada waktu yang tepat. Semua keinginan itu berbanding lurus dengan waktu yang tepat, dan waktu yang tepat itu yang tidak kita tahu kapan. Hasil dari diam juga pada akhirnya bisa berarti berhenti berharap. Hal ini lebih karena pemikiran realistis setelah mempertimbangkan semua aspek. Kekurangan, kelebihan, ancaman dan peluang pada akhirnya tidak harus menghasilkan strategi maju terus pantang mundur. Bisa jadi mundur adalah strategi jitu untuk mendapatkan harapan yang lain. Kiranya, itulah esensi dari peribahasa "Bagai pungguk merindukan bulan". Berusahalah selagi bisa dan yakin akan mampu, namun jangan terlalu memaksakan harapan juga. Mengukur diri adalah tindakan bijak. Kalau sekiranya hasil akhir dari analisis diri adalah berhenti dan mengalihkan harapan pada hal lain, maka yakinlah itu adalah pilihan terbaik yang bisa kita ambil. Terakhir, semoga sukses dengan pilihan-pilihan hidupnya ya. Menyukai Lalu Berharap Kemudian mencintai dan Akhirnya keinginan untuk memiliki, apapun itu harus bisa karena alloh Swt. Kiranya, itu dulu yang bisa saya tuliskan. Selebihnya mohon maaf atas kekurangannya. _______________________ Nyambung sama judul apa nggak sie? hahaha. Entahlah, sedang meracau mungkin. Mohon maaf. Gambar klik disini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun