Beberapa tahun yang lalu, pada sebuah malam yang membuat jatungku berdebar kencang. Dipelataran ruang itu, kali pertama kita berpelukan begitu dekat hingga tubuh kita saling merapat. Lalu kamu mencium bibirku seusai berpandangan mata begitu lama.
Saat lampu kamar dimatikan, sedang berahi kau nyalakan. Begitu bergelora membakar sekujur malam dan karam dalam lautan kasmaran yang kau hidupkan. Kita bahkan tak beralas kecuali tubuh yang saling mendekap. Kurasakan wajahmu yang bercucuran keringat, sementara jemarimu berkelana disetiap sudut tubuhku. Menepi setiap jengkal, menari dan berjejak.
Malam itu, aku lupa apakah hujan atau tidak. Yang kurasa ada buliran membasah diselangkanganku. Dan dentuman jantung seperti dikejar ombak, rintihan suaramu dikalahkan malam yang senyap. Disaru deru ombak yang menepi didaun telinga. Kau ingat? Bahwa kita, belum saling mengenal malam itu. Kecuali hasrat kita yang tiada berhenti bersahutan, seperti sebuah pelayaran, malam itu kita melampau ombak yang berkejaran dan tak mengharapkan pasir ditemukan. Biar terus melaut, biar terus berombak dan kita tak henti menyalip tubuh. Biar saja… biar tak ada lelah jangan dulu diselesaikan dan tak perlu sadar bahwa kita belum saling mengenal.
November itu, disebuah kota yang tak perlu dikabarkan kita tak pernah saling mengenal kecuali menjajaki setiap jengkal bara asmara yang janggal.
Diantara telanjangnya guling dan lukisan pulau-pulau pada bantal, ada tubuh kita yang saling berdekapan. Tidak merangsang, tetapi saling terikat. Kita pada sebuah malam yang larut dengan lolongan hewan-hewan jalang bertukar rasa, meracuni kesetiaan yang dikukuhkan oleh tradisi. Tidak ada perahu, tetapi seolah kita tengah berada di Atas Perahu Cadik* dalam keterasingan siapa kamu dan siapa aku, kita telah saling jatuh cinta.
Kamu mungkin tidak mengingatnya, apakah malam itu kita sempat saling menanggalkan baju atau sudah terlanjur telajang. Karena ketika pagi menjelang, tubuh kita sudah sangat bertautan. Tanpa perlu banyak pertanyaan kita sudah saling mengerti bahwa kita saling mencintai. Betapa bukan lagi menjadi urusan kita siapa namamu dan apa kelaminku. Karena kita tahu kita saling mencintai, dan tak sekedar tinggal satu atap.
Kamu sesekali menyeduhkan aku secangkir kopi, dan aku setiap kali menghidangkan tubuh menjamu nalurimu. Kita menjadi pasangan serasi, mencintai tubuh dan mencintai cinta yang basi. Kita dalam sebuah komedi tentang cinta, menjadi gila dan jatuh cinta.
*Cinta di Atas Perahu Cadik, salah satu judul cerpen terbaik pilihan Kompas ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H