Di tengah deru ombak dan hijaunya alam Pulau Sangiang, tersimpan kisah sejarah yang menunggu untuk diceritakan kembali. Pulau yang terletak di perairan Bima ini bukan hanya sekadar destinasi wisata, melainkan juga saksi bisu warisan peradaban, budaya, dan ekosistem yang kaya. Dalam beberapa tahun terakhir, upaya konservasi Kuda Bima---spesies kuda lokal yang melambangkan kekuatan dan keanggunan---telah menunjukkan hasil yang menggembirakan.
Di tengah riuh masyarakat Bima di Desa Sangiang Wera, berlangsung prosesi Kalondo Lopi. Rombongan Danrem 162/Wirabhakti, Brigjen TNI Agus Bhakti, Ketua Ikra Nusantara Prof. Muhtar, dan Dandim 1609/Bima Letkol Inf Andi Lulianto, menumpang berbagai kapal, termasuk Boat Baracuda DPKP Prov NTB dan kapal kayu Phinisi, berlayar menuju Pulau Sangiang Wera untuk melepas Kuda Bima---yang pernah menjadi legenda Nusantara.
Konservasi Kuda Bima tidak hanya berpengaruh pada populasi kuda tersebut, tetapi juga memperkuat komunitas lokal. Masyarakat terlibat aktif dalam program pelestarian, mempelajari pentingnya keberlanjutan ekosistem dan nilai-nilai tradisional yang perlu dijaga. Kini, Kuda Bima menjadi simbol kebanggaan yang menyatukan masyarakat dalam upaya melestarikan warisan budaya yang hampir terlupakan.
Dengan langkah-langkah ini, sejarah peradaban Pulau Sangiang Api Wera dan Kuda Bima seakan terlahir kembali. Dari titik nadir, Kuda Bima bangkit sebagai lambang harapan dan pemulihan. Setiap kuda yang berlari di padang rumput Pulau Sangiang mengingatkan kita akan pentingnya hubungan antara manusia dan alam, serta tanggung jawab untuk menjaga warisan nenek moyang.
La Manggila, kuda yang tangkas dan berani, dibesarkan di kaki Gunung Berapi Sangiang Wera. Ia selalu setia menemani Sang I Ambela dalam setiap pertempuran. Ungkapan mengatakan bahwa "Goa Tak Terkalahkan" oleh Bone ada Kiprah keberanian kuda ini.
Van Bram Morris mencatat, setelah Perang Bone, kuda La Manggila diberhentikan secara terhormat dan dimerdekakan oleh Sultan La Mbila. Sebagai penghargaan, kuda ini diangkat menjadi kuda kerajaan dan diberi nama "JARA MANGGILA." Ketika La Manggila melintas, tidak ada yang boleh mengganggu, atau akan dikenakan denda. Saat melintasi benteng-benteng Belanda, juga diwajibkan membunyikan dentuman meriam sebagai penghormatan Laksana Penghormatan kepada perwira tinggi militer.
Kisah kuda-kuda Bima juga tercermin pada  adab seorang ulama Bumi Bangkalan kepada gurunya dari Bima. Alayarham Kiyai Kholil Bangkalan, yang pernah menaiki delman, mendapati kudanya tidak mau berjalan. Beliau bertanya pada saisnya, saisnya menjelaskan bahwa Kuda tersebut berasal dari Bkma,  mengetahui bahwa itu adalah kuda dari Bima. Dengan penuh hormat, Sang Kiyai turun dari delman dan menasehati sais untuk tidak menyakiti kuda tersebut, sebagai bentuk penghormatan kepada gurunya, Syaihk Abdul Ghani Albimawi. Sang Kiyaipun menunutun Kuda tersebut hingga kerumahnya, Sebuah kisah penghormatan kepada Guru dan Sang Pemberi Ruh. Kini, Pulau Sangiang tidak hanya menjadi tempat konservasi, tetapi juga pusat pendidikan, Pariwisaya, penelitian, dan inspirasi bagi banyak orang. Kembalinya Kuda Bima adalah kisah tentang ketahanan, dedikasi, dan cinta akan alam yang terus mengalir dalam jiwa masyarakat Bima. Sejarah yang tertulis kembali mengajak kita untuk merenungkan arti kehidupan yang saling terhubung, serta pentingnya menjaga harmoni antara manusia dan lingkungan.
*Harmoni Alam, Harmoni Manusia* Â *SANDAKA DANA MBOJO*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H