Mohon tunggu...
Sofiyan Mohammad
Sofiyan Mohammad Mohon Tunggu... -

Banten

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Rumput Laut, Bisnis Sampingan yang Jadi Primadona Nelayan

26 April 2014   02:59 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:11 681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Budidaya rumput laut di Desa Lontar, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Provinsi Banten, berkembang pesat. Awalnya masyarakat pesisir Utara Banten ini tidak begitu tertarik membudidayakan rumput laut. Bahkan saat pertama kali diperkenalkan, rumput laut dianggap sebagai bisnis sampingan nelayan ketika tidak melaut karena cuaca buruk. Namun lama kelamaan, budidaya rumput laut menjadi primadona nelayan. Bahkan saat ini, jumlah nelayan yang membudidayakan rumput laut di Desa Lontar mencapai ratusan orang dengan jumlah lahan ribuan hektar.

Masyarakat Lontar mengenal budidaya rumput laut tahun 2009 silam. Awalnya, budidaya rumput laut di Lontar, dibawa oleh seorang aktivis lingkungan yang bernama Kholid Miqdar, warga Desa Singarajan, Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang. Saat itu, nelayan Lontar tidak begitu tertarik dengan budidaya rumput laut, pasalnya dianggap sulit tumbuh dan sulit memasarkan, serta tidak tahu cara budidayanya.
Namun Kholid tidak putus asa, ia tetap semangat membudidayakan rumput laut di pantai Lontar dengan segelintir nelayan. Saat itu, Kholid hanya menanam satu ton bibit rumput laut yang didapat dari LIPI, dengan luas lahan 50 x 50 meter per segi di tepi pantai Lontar. Hasil panen, rumput laut tersebut dipasarkan sendiri ke sejumlah pasar, sisanya diolah menjadi dodol dan makanan yang terbuat dari rumput laut.
Di Tahun 2010, ada saudagar dari Bangka Belitung yang datang ke Lontar dan memborong semua hasil budidaya rumput laut yang ditanam Kholid dan segelintir nelayan lainnya. Sejak itu, nelayan Lontar mulai terbuka mata dan pikirannya bahwa rumput laut itu laku dijual untuk menafkahi hidup. Lalu masyarakat Lontar mulai beralih membudidayakan rumput laut. Hasilnya lumayan signifikan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, bahkan melebihi hasil menangkap ikan, udang, dan kepiting.
Hasil budidaya rumput laut di Lontar terdengar dari mulut ke mulut, hingga ke sejumlah pabrik yang mengekspor rumput laut. Lalu sejak 2010, potensi rumput laut di Lontar menjadi mata pencaharian utama nelayan di sana. Setiap panen, selalu saja banyak pengepul yang siap membeli hasil panen rumput laut. Hingga kini, jumlah pembudidaya rumput laut di Lontar semakin banyak, jumlahnya mencapai ratusan orang dengan luas lahan kurang lebih 1.500 hektar.

Potensi rumput laut di Lontar, kemudian merambah ke daerah lain di pesisir Utara, di tiga kecamatan di Kabupaten Serang, yakni Kecamatan Tirtayasa, Pontang dan Tanara. Budidaya rumput laut sudah menjadi idola dan mata pencaharian utama nelayan di pesisir Utara Kabupaten Serang. Budidaya rumput laut tidak hanya dilakukan di laut, tapi juga dilakukan di tambak-tambak milik nelayan. Tambak yang biasanya ditanam ikan, udang dan kepiting, perlahan mulai tergantikan dengan rumput laut. Sehingga ada dua jenis rumput laut yang dibudidayakan di sana, yakni jenis gracilaria dan jenis cantoni. Untuk jenis graciliria hanya bisa tumbuh di tambak, sedangkan rumput laut jenis cantoni biasa tumbuh di laut. Harganya lebih mahal cantoni, karena sebanding dengan proses budidayanya dan kualitasnya yang banyak asupan nutrisi laut secara langsung. Untuk jenis graciliria banyak ditanam di tambak-tambak di Desa Domas, Linduk, Sujung, Tengkurak, Tenjo Ayu sampai ke Teluknaga Kabupaten Tangerang. Sedangkan untuk jenis cantoni hanya tumbuh di pantai Lontar dan pantai Pulopanjang, Kota Serang.

Diusir Tambang Pasir
Tahun kejayaan rumput laut di Lontar terjadi pada tahun 2010 hingga 2011. Tidak sedikit nelayan yang bisa pergi haji dan umroh dari hasil membudidayakan rumput laut. Di tahun 2012, kejayaan rumput laut mulai memudar, terusir oleh adanya penambangan pasir di Pantai Lontar oleh perusahaan Jetstar yang didukung oleh Pemerintah Kabupaten Serang. Penambangan pasir di Lontar pernah dilakukan pada tahun 2005 silam. Kemudian sempat terhenti setelah ditolak warga, lalu tahun 2012 penambangan pasir laut dilakukan kembali dengan alasan untuk mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD).
Namun bagi pembudidaya rumput laut, keberadaan penambangan pasir adalah musibah. Karena akibat penambangan pasir, kualitas rumput laut menurun drastis dan hasil panen juga berkurang hingga 50 persen.
Sejak penambangan pasir laut beroperasi, air laut menjadi keruh. Padahal rumput laut membutuhkan oksigen yang memadai. Dengan air yang keruh otomatis kualitas oksigennya buruk. Selain itu, nutrisi yang dibutuhkan rumput laut dari kantong-kantong pasir menjadi berkurang. Penambangan pasir laut juga berdampak terhadap abrasinya pantai dan tambak. Budidaya rumput laut juga membutuhkan gundukan pasir yang berfungsi sebagai pemecah gelombang. Sehingga gelombang ombak tidak menerjang keras rumput laut yang menyebabkan rumput laut rontok. Penambangan pasir laut membuat gundukan pasir pemecah gelombang hilang. Gundukan pasir itu dalam bahasa masyarakat Lontar disebut gegara manuk.
Aktivitas penambangan pasir di Lontar, membuat hasil panen pasir laut berkurang. Biasanya sebelum ada aktivitas penambangan pasir, nelayan Lontar menanam 1 ton bibit rumput laut berhasil memanen 10 ton rumput laut basah, dan jika dikeringkan bisa mendapat 3 sampai 4 ton rumput laut kering. Saat ini, sejak ada penambangan pasir laut, hasil panen rumput laut berkurang hingga 50 persen.
Pada posisi ini, pemerintah harus hadir untuk membantu menggarap potensi budidaya rumput laut guna peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Yakni dengan cara mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mendukung proses produksi rumput laut yang dibudidayakan para nelayan. Misalnya menggulirkan bantuan modal, dan menghentikan aktivitas yang merusak lingkungan dan ekosistem laut. Selain itu, membangun pabrik pengeringan rumput laut yang dikelola secara kolektif. Pasalnya, harga rumput laut kering lebih mahal ketimbang yang basah. Jika hasil panen dijual dalam kondisi kering, akan meningkatkan harga jual yang otomatis akan mensejahterakan nelayan. Untuk itu dibutuhkan pabrik pengeringan rumput laut yang sistemnya bisa dikelola bareng antar instansi terkait di pemda dengan kelompok budidaya rumput laut. Jika itu dilakukan, maka tidak ada alasan rakyat Indonesia itu miskin. Cukup mengelola kekayaan laut dengan tepat dan bijak, serta menjunjung tinggi kearifan lokal, percayalah, makmur dan sejahtera bukan hal yang utopis. Sebab Koes Plus bilang, "Kail dan jala cukup menghidupimu."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun