Jurnalisme Online = Asal Retweet?
Beberapa hari yang lalu, timeline Twitter beberapa akun radio di kota Yogya seperti @swaragamafm dan @sonorajogja sempat mengalami kehebohan. Banyak yang mencaci maki kedua akun tersebut karena salah memberikan informasi tentang gempa jogja. Kok bisa?
Rabu 2 April yang lalu, terjadi gempa bumi di Yogyakarta pada pukul 18:21 yang berpusat di 28 km Tenggara Yogyakarta. Seperti biasa setiap terjadi bencana atau kejadian penting, berita langsung menyebar luas di timeline Twitter. Banyak akun yang kemudian juga berlomba-lomba memberikan informasi akan kejadian tersebut secara tepat. Radio Swaragama FM, misalnya. Memberitakan gempa tersebut lewat akun twitter @swaragamafm, dengan meretweet akun @gempaBMKG.
Hal ini yang kemudian menghebohkan dunia Twitter, karena ternyata informasi yang diberikan adalah salah. Akun @gempaBMKG bukan lah akun resmi dari BMKG, dan berita yang di retweet adalah berita dari bulan April dari tahun 2011. Ya, berita dari 3 tahun yang lalu! Para pengguna Twitter tentu bingung dengan informasi yang mereka dapatkan. Akun sekaliber @swaragamafm dengan puluhan ribu followers memberikan informasi yang salah.
Dari pihak Swaragama FM menyatakan bahwa informasi yang diberikan memang salah, dan kesalahan internal karena tidak melakukan verifikasi dengan benar dan hanya terkesan asal retweet. Tapi setelah di cek lebih lanjut, beberapa akun seperti @sonorajogja, @yogyakartacity dan @kabarbantul juga melakukan kesalahan yang sama karena meretweet informasi yang sama.
[caption id="attachment_330151" align="aligncenter" width="593" caption="Permintaan maaf dari akun @sonorajogja dan @kabarbantul"]
Semua akun diatas sudah melakukan permohonan maaf karena memberikan informasi yang salah. Tapi kemudian yang harus disorot, kenapa akun-akun tersebut tidak melakukan verifikasi sama sekali? Efek viral dari social media seperti Twitter ataupun Facebook bisa menyebar dengan sangat cepat, termasuk ketika informasi tersebut salah tentu semakin banyak dan semakin cepat masyarakat menangkap informasi tersebut dan bisa menimbulkan kepanikan massal.
Penggunaan media sosial dalam Jurnalisme Online kemudian kembali mendapat sorotan. Sahih kah menggunakan social media untuk menyebarkan berita kepada masyarakat, tetapi ternyata berita tersebut salah? Padahal masyarakat sudah terlanjur panik dan takut ketika membaca berita tersebut.
Kita memang tidak bisa saling menyalahkan, karena cepatnya informasi beredar di social media sangat sulit untuk dicegah. Tetapi paling tidak, setiap individu ataupun administrator dari akun-akun dengan followers ribuan bisa memeriksa ulang dan memverifikasi setiap info yang mereka dapatkan.
Verifikasi : Cek Ricek
Jadi, dengan informasi yang beredar begitu cepat dan terkadang tidak bisa dikontrol sepenuhnya, bagaimana untuk melakukan “cek ricek” kebenaran dari berita tersebut? Mengutip dari buku Blur : How To Know What’s True In The Age Of Information Overload (Bill Kovach and Tom Rosenstiel, 2011), ada beberapa langkah yang dapat dilakukan sebagai berikut :
·Authenticator: Membantu memverifikasi mana informasi yang benar dan dapat dipercayai
·Sense Maker: Meletakkan informasi/berita yang ada ke dalam konteks
·Investigator: Jurnalis/Media tetap jalankan fungsi sebagai ‘watch-dog”, pengawas kekuasaan
·Witnes Bearer: Fungsi pengamat. Menelisik dan Monitoring
·Empowerer: Membantu publik lebih memahami perkembangan peristiwa
·Smart Aggregator. Media diharapkan menjadi pengumpul berita yang cerdas. Tidak hanya memproduksi berita sendiri, tetapi menunjukkan kepada publik sumber terkait lainnya
·Forum Organizer. Forum pembaca sebagai sarana interaksi
·Role Model. Trusted Guide, media sebagai lembaga kepercayaan publik
Smart Aggregator & Role Model
Satu poin diatas menyebut bahwa media diharapkan menjadi pengumpul berita yang cerdas. Tidak hanya memproduksi berita sendiri, tetapi menunjukkan kepada publik sumber terkait lainnya. Poin terakhir, menyebutkan bahwa media sebagai lembaga kepercayaan publik.
Kembali kepada permasalahan diatas, 2 poin ini belum dilakukan dengan baik oleh media-media lokal di Yogyakarta.
Media, dalam kasus ini media radio, melalui akun twitternya (sebenarnya) bisa melakukan fungsi jurnalisme online dengan baik. Tetapi admin pun hanya manusia biasa yang juga bisa melakukan kesalahan. Maksud untuk menunjukkan informasi dari sumber terkait lainnya justru berujung pada kesalahan informasi. Bukan maksud menyalahkan, tetapi apakah memang semudah itu untuk meretweet informasi yang jelas-jelas tertulis tahun 2011? Apakah sesulit itu untuk membaca 140 karakter?
Kesalahan yang sebenarnya kecil ini tidak saja menyebarkan informasi yang salah kepada publik tetapi bisa menjadi bumerang untuk media itu sendiri. Media yang seharusnya menjadi lembaga kepercayaan publik bisa saja kehilangan kepercayaan dari masyarakat gara-gara kesalahan individu di internal media tersebut.
Baiklah, bukan saatnya untuk saling menyalahkan. Ibarat pepatah, nasi sudah menjadi bubur. Buburnya pun sudah dikonsumsi oleh banyak orang. Tetapi ibarat mengkonsumsi bubur yang basi, perut menjadi mual dan badan menjadi tidak enak. Perasaan seperti itu yang mungkin sempat dirasakan banyak orang. Kekesalan kecil di hati karena sudah membaca informasi yang salah di Twitter.
Hal ini sebenarnya bisa menjadi pelajaran yang sangat berharga; tidak hanya untuk media-media yang tersandung kasus tersebut, tetapi juga untuk kita pengguna media online atau media sosial yang bisa digunakan sebagai medium jurnalisme online.
Saya kembali teringat dengan 1 bagian slide show presentasi dari @unilubis yang menyebut “Social media explodes – but most content has no credibility”.Memang benar di era ini social media mekar dengan sempurna. Kebanyakan dari akun-akun ataupun media online juga masih dipertanyakan kredibilitasnya.
[caption id="" align="aligncenter" width="490" caption="Slide show dari @unilubis"]
Tentu bukan berarti kasus diatas menyatakan akun-akun atau media tersebut tidak memiliki kredibilitas. Tidak begitu. Tetapi memang harus diakui bahwa social media dan jurnalisme online pun harus memiliki “watchdog” nya sendiri. Entah dalam bentuk lembaga, organisasi ataupun apapun itu namanya. Cepatnya penyebaran informasi memang sangat berguna, tetapi bila informasinya salah apa gunanya?
Dalam beberapa tahun kedepan, jurnalisme online dengan menggunakan social media dan media online pasti akan berkembang dengan sangat pesat. Tidak ada yang salah, tidak ada yang harus dicegah ataupun ditakuti. Kitalah yang memulai, kitalah yang mengawasi.
Akan datang saatnya dimana setiap orang akan menjadi bagian dari jurnalisme online. Apakah itu via social media seperti Twitter, facebook, Google+ ataupun via instans messaging seperti Line, BBM atau melalui situs berita online detik.com. Citizen journalism akan semakin berkembang pesat beberapa tahun kedepan.
Belajar dari kasus diatas, siapapun, mulai kini bisa melakukan cek ricek dan verifikasi dalam proses penyebaran informasi dalam jurnalisme online. Kita tentu tidak ingin kasus yang sama terulang lagi dan lagi. Kepanikan massal ataupun informasi yang salah bisa berujung pada kerugian publik. Dan, hal tersebut bisa dicegah. Oleh kita sendiri.
Semoga media baik lokal, nasional dan internasional melalui akun-akun twitter mereka bisa kembali ada di jalur yang benar. Kembali melakukan fungsi jurnalisme online dengan baik dan bisa kembali menjadi lembaga yang dipercaya oleh publik.
Dan semoga kita sebagai masyarakat, tidak sembarangan menelan informasi dan bisa menggunakan social media secara cerdas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H