Aku memanggilnya “Purnama” pada gadis berjilbabwarna merah itu, walaupun ia sebenarnya seperti sebuah mawar, pastinya lebih mirip mawar dari pada purnama jika dilihat dari kerudungnya, karena mawar ada yang merah dan ada pula yang putih. Sementara “puranama” adalah bulan tanggal 15 hijriah. Bentuknya bulat sempurna.
Tapi aku tetap memanggilnya Purnama, bukan karena wajahnya yang bulat sempurna, tapi karena wajahnya selalu memberikan keteduhan sempurna. Aku tak bilang ia cantik atau manis, tapi yang pasti dia menarik ku untuk terus memperhatikan dan membayangkannya. Sekilas sih memang tampak judes, tapi lama-lama sikapnya itu adalah bentuk lain untuk memproteksi dirinya dari godaan laki-laki liar. Jadi aku suka ke-judes-annya.
Aku mengenalnya dalam sebuah moment yang memang disengaja, walaupun ia mengira itu adalah sebuah peristiwa kebetulan. Kalau dia sadar dan sedikit berpikir, bahwa tak ada suatu peristiwa yang memang benar-benar kebetulan. Setiap kebetulan itu adalah sebuah peristiwa yang rencananya diluar jangkauan kita. Karena tanpa rencananya ia meyebutkan kebetulan, tapi tidak dengan diriku, aku sudah merencanakan peristiwa pertemuan ini dan sesuai dengan rencanaku, ia menganggapnya kebetulan.
Baiklah....!! aku tak punya banyak pengalaman tentang perempuan, ceritanya aku laki-laki udik yang tak banyak tahu bagaimana berkomunikasi dengan perempuan, apalagi perempuan kota. Ada gaya dan etika tertentu yang diam-diam menjadi hukum tertentu untuk menentukan penilaian tertentu pada laki-laki tertentu. Apa ia laki-laki baik atau tidak, ini sih penilaian umumnya. Penilaian khususnya akan ada lagi kategori, sopan, keren, gentel, pemaaf, peyabar dan lain sebagainya.
Aku bingung untuk memilih kata apa untuk memulai komunikasi dengannya, karena kesalahan pertama dalam pemilihan kata, akan sulit untuk benahi. Hem......!!! aku mikir sejenak. Berdasarkan penyelidikanku, perempuan itu sedang kuliah jurusan psikologi, tapi dia juga menyukai sastra dan retorika. Hah....pastinya dia pandai mendeteksi kepribadian orang.
Layaknya sebuah film, aku mempelajari setting lokasi dimana ia sekarang sedang terduduk menopang dagu, pandangannya tampak tertuju pada sebuah pohon palem yang rindang di depannya, dirinya duduk disebuah kursi panjang ditaman kota Jakarta. Ketika senja baru saja dimulai, warna langit sudah mulai tampak keemasan. Hem......andaikan semuanya sesuai rencana ini akan jadi moment romantis. Semoga...!!
Tarik nafas pelan....langkahkan kaki seringan mungkin, senyum mengembang sedikit menatap langit. Berharap mendapatkan ilham dari langit. Aku akhirnya memilih duduk saja di sampingnya dengan jarak kira-kira sekitar satu meter. Aku memposisikan duduk serupa dengannya, menopang dagu, dan berusaha melihat apa yang dia lihat. Sambil sesekali mataku melirik kepadanya dan memperhatikan kemana bola matanya yang hitam mengkilat tertuju.
Selang beberapa menit, tampaknya dia mulai merasakan kehadiranku, dan merubah posisi duduknya, kini dia menatapku sekilas, dan diwaktu bersamaan aku juga menatapnya. Secara sepontan kita sama-sama melepas tangan kita dari dagu masing-masing. Aku menunggunya bicara duluan, mendengar suaranya, memperhatikan mimik wajahnya dan menganalisa intonasi bicaranya.
Namun tetap tak ada kata, aku tak berani memulainya. Dia kembali kelamunannya dan kembali memperhatikan sebuah objekk yang tidak benar-benar aku mengerti. Apakah dia fokus pada pohon di depannya atau fokus pada pikirannya, kalau dia fokus pada pikirannya aku akan kesulitan menebaknya. Aku tunggu saja. Situasi ini benar-benar tidak menarik. Tapi perempuan menarik memang memberikan efek kecerdasan tambahan pada laki-laki yang tertarik padanya.
Ilham datang. Aku tak ingin bersuara, suaraku fals dan tak merdu. Dan hal itu akan merusak suasana jika hati perempuan itu sedang tidak stabil. Perempuan memang susah di tebak, itu sudah rahasia umum. Kadang dia membalas sapaan pertama dengan sopan dan lembut, kadang dengan biasa-biasanya tapi menyimpan sorotan kecurigaan, kadang-kadang malah kasar dan penuh amarah, tapi itu semua masih lebih baik dari pada di cuekin. Di cuekin adalah tempat dan makanan yang paling tidak enak di dunia ini.
Dan tampaknya dia memilih untuk mencuekin aku, tampaknya begitu. Oke....!!! tak masalah kita tak saling kenal dan aku berusaha mengenalnya, tapi sampai tiba waktu pertemuan itu, aku tetap saja tak berani memulai apa-apa, senyum di depannya saja aku tak berani. Senyumku tak manis, senyumku tak indah. Mungkin dia akan melihatnya menjijikkan di depannya.
Aku ambil secarik kertas, dan menuliskan sesuatu “KURSI MERENUNG”, tulisku di kerta itu, lalu aku letakkan kertas itu di kursi tersebut, kemudian aku pindah ke kursi panjang sebelahnya yang jaraknya sekitar 2 meter. Aku mulai tidak membiarkan perasaanku peduli pada wanita itu. aku akan mulai dengan kembali menjadi diriku sendiri. Periang dan gembira, suka senyum-senyum sendiri hingga orang melihatku merasa aneh. Aku tak peduli, karena mereka tak tahu kenapa aku tersenyum, dan ketika mereka bertanya mereka tetap tidak memahami jawabanku.
Di kursi yang baru aku duduk bersandar, sambil menarik nafas pelan-pelan berusaha mendeteksi kira-kira aroma apa yang bertebaran di taman itu, hem....luar biasa banyak, aku sudah memilahnya, mulai dari harum bunga, aroma masakan hingga pedasnya sambal bakso yang jaraknya 7 meter di depanku mampir dihidungku. Luar biasa dunia ini....!!! lalu aku tersenyum sendiri.
“Apa maksud tulisanmu ini...?” tanya perempuan itu tiba-tiba mengganngu kenikmatanku mencium aroma semesta ketika itu sambil menunjukkkan tulisan yang tadi aku buat. Pastinya aku tidak bisa menjawab, tapi sisa senyumku yang tadi masih belum habis. “DI SINI KURSI UNTUK ORANG-ORANG TERSENYUM”. Ucapku. “kalau kamu mau tersenyum duduklah di kursi ini”, ucapku kemudian, lalu aku sadari itu bukan pilihan yang tepat.
“kamu belum jawab pertanyaannku”, kata gadis itu.
“dan aku tak akan menjawab jika kamu tak mau duduk”, jawabku mencoba untuk mengabaikannya.
Aku sadar dengan konsekwensi dari jawabaku tadi, pertama dia akan duduk dan memilih mendengar jawabanku karena tak tahan dengan rasa penasarannya, kedua dia akan meremas kertas itu dan melemparkannya kewajahku. Dua-duanya sudah kupersiapkan langkah selanjutnya. Jadi aku tenang saja.
“sekarang jelaskan”, pintanya singkat. “dijelaskan pada siapa” tanyaku pula. “Aku,” jawabnya singkat. “Aku itu siapa?” aku balik bertanya. “kalau aku iyan, kalau aku-nya kamu siapa?”, sambungku kemudian. “GINA”. Jawabnya singkat.
“Alhamdulillah......Mission Complet”, akhirnya kita resmi berkenalan, walaupun sebelumnya aku sudah tahu namanya, tapi tidak sah rasanya jika aku tidak mendengarkan langsung dari mulutnya. Akhirnya aku memenuhi permintaannya menjelaskan maksud dari tulisan “KURSI MERENUNG”, dan ternyata dia tampak tertarik dengan penjelesanku. Tapi Adzan maghrib membubarkan pertemuan kami. Dan sebelumnya kami sudah mengikat janji bertemu lagi ditempat dan waktu yang sama, tentunya temanya berbeda.
To be continus...
Gina (2); Sang Perenung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H