Mohon tunggu...
Iyan Jibroil
Iyan Jibroil Mohon Tunggu... karyawan swasta -

jika hidup ini tak selaras dengan mimpi, maka janganlah berhenti, teruslah berlari karena hidup tak mengenal kompromi.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menyikapi Rindu Secara Bijaksana

5 Januari 2015   07:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:47 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awan gelap bergerak pelan mengikuti irama angin, mengatur formasi untuk menyerang bumi dengan tetesan air hujan. Memberi berkah pada tumbuh-tumbuhan dan makhluk lainnya. Senyum ceria tampak terlihat cerah dari permukaan bumi menyambut datangnya hujan sebagai anugerah dari ilahi.

Tapi tak selamanya hujan disambut dengan senyum renyah penuh kebahagiaan, dibelahan pelosok kota di berbagai belahan bumi lainnya, juga tersimpan rasa was-was dan khawatir. Ketakutan itu bukan tanpa alasan dan sebab-sebab kenyataan yang ada, tapi ada serangkaian pengalaman yang membuat mereka terpaksa harus pindah dari sarangnya. Karena air hujan tersebut ternyata mengambil tempat pula dikediaman mereka.

Begitu pula dengan rindu sebagai bumbu pemanis dalam cinta. Ia datang bagaikan air hujan yang sesekali mernjadi berkah dan di lain waktu bisa juga mendatangkan musibah. Ada rasa sesak dalam dada yang begitu kuat menjelma menjadi tuntutan yang tak terkendalikan oleh kita. Jika sudah tiba waktunya untuk bersua debaran itu begitu kuat memberikan getaran indah sebagai roda dalam perjalan cinta.

Tetapi di suatu ketika jika ia tak kunjung datang juga, bisa saja menjadi suatu penyakit kronis yang siap membunuh seluruh sel rasionalitas kita sebagai manusia. Apa jadinya jika cinta yang besar ini telah terpisah oleh ruang dan waktu begitu lama, sementara keputusan untuk bertemu tak kunjung datang juga. Kekhawatiran tentang apakah dia sudah hilang dan terjebak dalam cinta lainnya, kekhawatiran tentang apakah dia telah rela untuk melupakannya menjadi belenggu yang merantai kita dalam cinta tanpa objek yang tak terjamah.

Pada saat itulah kesadaran kita sebagai kesatuan ADA harus kita bangkitkan dalam diri kita yang telah lama terkungkung dalam ke-egoisan cinta. Cinta itu segalanya, termasuk juga menatap kembali ruang-ruang yang telah lama kita tinggalkan. Menatap masa depan yang terus kita berjalan menujunya.

Kondisi semacam itu sering kali hanya mampu kita luapkan dalam tangis yang berkepanjangan, dalam harapan yang tak kunjung menjadi kenyataan, dalam penantian yang senantiasa membuat kita lupa. Lupa kalau kita ada tidak hanya buat dirinya, tapi buat diriNya pula, buat mereka, dan buat orang di sekeliling kita.

Itu samua adalah merupakan reaksi normal dari kita sebagai manusia, tapi kita harus menyikapi rindu itu secara bijaksana. Kekhawatiran-kekhawatiran yang ada adalah merupakan tanda dari tidak adanya keyakinan dan kepercayaan yang kuat dalam diri kita kalau nantinya kita pasti bersua juga. Bukankah waktu akan terus berjalan mengantarkan kita padanya?. Disini atau di sana, atau bisa jadi di alam selanjutnya.

Yang kita butuhkan hanya sebuah keyakinan, keyakinan bahwa semesta ini telah ada yang mengaturnya, dan kita berada dalam ketidakberdayaan sebagai bagian dari peraturan-peraturan yang ada. Ini harus di akui dan di sadari, untuk menghindari diri dari sikap protes yang berlebihan pada kenyataan sehingga kita sulit untuk menerima semuanya dan kita senantiasa berada dalam kesedihan selamanya. Kesedihan dalam kekhawatiran dalam sebuah pertanyaan “kapan aku akan bertemu dengannya?”.

Semakin lama pertemuan itu tertunda, maka semakin indah rasanya jika waktu itu tiba. Jika kita mau berhenti untuk bertanya “kapan waktu itu tiba?”. Sementara kita hanya berusaha dalam rangkaian harapan-harapan belaka. Sehingga pada suatu ketika kamu akan sadar kalau apa yang kamu harapkan adalah sia-sia. Jika kau tak punya usaha dan keyakinan yang kuat tentang itu semua.

Bertahan dengan satu cinta dengan konsep “setia” ternyata pada suatu ketika akan membunuh diri kita, membunuh kesempatan orang lain mencintai kita, dan membunuh cinta kita pada orang lain. Maka baiknya kita harus berdamai dengan sejarah kita, dengan kembali menyulam sejarah baru dengan yang lainnya. Jika kita di takdirkan bersamanya maka di lain waktu dan kesempatan kita akan bersatu dengan dirinya. Dengan tanpa menghalangi diri ini merasakan cinta yang lainnya dan memutus doa kita terkabulkan olehNya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun