Basuki Tjahaya Purnama atau sering disapa Ahok tidak henti-hentinya membuat kontroversi di masyarakat, Jakarta pada khususnya. Sewaktu masih menyandang status sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahok mengawali karir kontroversinya dengan menggunakan mulutnya sebagai alat untuk menaikan nama. Ucapan-ucapan pedas, memaki, menyumpahi dan sebagainya menjadi ciri khas tersendiri bagi pejabat satu ini. Ia tidak sungkan memaki bawahannya di depan umum bahkan sekalipun ditayangkan secara live (langsung) di media massa.
Setelah namanya kian naik, kontroversi pun terus berlanjut, sasaran setelahnya diarahkan kepada Forum Betawi Rembug (FBR). Berawal dari penghinaan yang ia lakukan terhadap salah satu kebudayaan khas betawi, akhirnya mendapat kecaman dari masyarakat betawi yang notabene penduduk asli Jakarta. Kontroversi ini tidak terlalu serius di ekspos oleh media karena dari segi efek dimungkinkan berimbas kepada media itu sendiri. Sehingga dalam kasus ini media lebih cenderung melerai pertikaian ketimbang membiarkan persoalan ini berlarut-larut. Sikap ini tentu berbeda jika dihadapkan dengan kasus-kasus lain semisal FPI.
Sewaktu menyandang status sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur, pra pelantikan 19 November 2014. Ahok kembali membuat kegaduhan dengan Organisasi Islam Front Pembela Islam (FPI). Berawal dari ketidaksetujuan FPI dengan pelantikan Ahok sebagai Gubernur, kemudian berlanjut merjadi drama saling tuding, saling kecam, dan saling serang, dan setelah itu menjadi bola liar pemberitaan media massa. Tapi karena FPI tidak memiliki dukungan yang memadai ditambah dengan keberpihakan media hanya pada salah satu pihak saja, maka Ahok akhirnya tetap menyandang status sebagai Gubernur DKI. Tapi pelantikan hanya bisa dilangsungkan di istana negara, dengan turun tangannya Presiden Jokowi ke dalam permasalahan ini.
Tiga/empat bulan pasca pelantikan tepatnya bulan februari hingga maret 2015, Ahok kembali membuat kontroversi baru dengan anggota DPRD DKI Jakarta, disebabkan karena tertundanya pencairan Dana Anggaran APBD DKI Jakarta oleh Kemendagri. Kontroversi ini lagi-lagi menjadi topik hangat serta santapan segar media massa. Aksi saling tuding dan bongkar pasang senapan akhirnya mencair setelah dana APBN dikeluarkan oleh Kemendagri. Setelah dana keluar kontroversi ini mereda dengan sendirinya melalui jalan kompromi kedua belah pihak, sebab kedua pihak memiliki data kebusukan masing-masing.
Dan terakhir, pada bulan ini (April 2015) kontroversi yang sama kembali dibuat oleh Ahok. Adapun yang jadi topik hangatnya adalah wacana melegalkan tempat Prostitusi PSK di DKI Jakarta. Kontroversi ini kembali mendapat respon kuat dari masyarakat terutama kalangan umat islam Jakarta, nusantara pada umumnya. Sebab, wacana ini jelas mengandung unsur yang bertentangan dengan nilai-nilai islam sebagai agama mayoritas. Karena kuatnya opini dan kecaman, seperti biasa, lagi-lagi ahok mengambil keputusan sendiri dan lebih mengedepankan arogansinya ketimbang mendiskusikan persoalan tersebut dengan umat islam dan tokoh-tokoh umat.
Kebencian Ahok Kepada Islam
Dari sekian banyak kontroversi yang Ahok terbitkan, baik sebelum maupun baru-baru ini, sasaran utama lebih banyak dialamatkan kepada umat islam. Kenapa yang dituju islam, tentu bukan tanpa alasan. Alasan utama yang mendasarinya adalah Akidah. Kebencian orang-orang kafir kepada islam sudah digambarkan secara jelas dalam al Qur’an Surah al-Baqarah ayat 120.
Kebencian ahok kepada islam dan nilai-nilai islam sudah berlangsung lama dan tidak diragukan. Jika kita runut pernyataan2 yang pernah ia keluarkan terutama menyangkut islam, akan sangat mudah kita dapati pernyataan yang isinya menyindir, menyinggung ataupun memprovokasi umat islam. Semua bisa kita lihat secara gamblang di banyak media baik langsung ataupun sindiran halus. Salah satunya, saat ia merespon banyaknya pihak yang menentang wacana prostitusi legal di DKI, ia mengatakan “nanti di tempat prostitusi tersebut kita pasang pengumuman ‘yang sok suci dilarang masuk’.” (kompas, 28 April 2015). Walaupun tidak menyebut islam secara langsung, tapi tujuan ucapannya jelas dialamatkan kepada umat islam, tidak mungkin umat agama lain.
Inilah motif dan alasan yang mendasari Ahok melakukan tindakan tersebut. Dengan dasar itu pula, ia berusaha melampiaskan apa yang ada dipikirannya melalui ucapan ataupun perbuatan. Jika telisik lebih jauh, ini adalah bentuk ekspresi kebencian Ahok kepada islam, umat islam, dan nilai-nilai islam. Maka jangan heran, sejak awal dilantik menjadi pejabat DKI, Ahok tidak henti-hentinya membuat makar dan terang-terangan memusuhi islam serta berusaha merusak generasi islam melalui kewenangan yang ia punya, dua diantaranya ‘melegalkan miras dan wacana legalisasi tempat prostitusi PSK’.
Ahok secara sadar dan menyadari bahwa wacana yang ia buat pasti akan mendapat respon dan pertentangan hebat dari umat islam. Tapi sungguh pun demikian, dia juga tahu bahwa umat islam sekarang dalam keadaan lemah, mereka hanya menyandang status mayoritas tapi tidak bisa berbuat banyak selain daripada mengecam dan mengutuk tindakan tersebut, tidak lebih. Disisi lain ahok juga sadar, walaupun penguasa indonesia dari kalangan umat islam tapi penguasa tersebut tidak akan berpihak kepada kaum muslim, ditambah lagi di sekelilingnya ada media-media yang senantiasa membela dan berpihak kepadanya, walau sesalah apapun kelakuan yang ia buat.
Maka tidak aneh, dalam persoalan ini Ahok berusaha menunjukan arogansinya dengan cara semena-mena membuat kebijakan, kemudian tidak memperhitungkan dan tidak peduli apakah itu menyinggung atau menyakiti umat islam. Semakin umat islam terpancing dan marah dengan kelakuannya maka semakin puas dan senanglah dia. Karena dengan begitu, berarti ia sukses melampiaskan kebencian yang terpendam selama ini.
Diamnya Para Ulama
Ulama adalah pewaris para Nabi. Ulama adalah manusia terbaik diantara sekian yang terbaik. Ulama adalah manusia pilihan yang dipilih langsung oleh Allah untuk mengemban risalah islam. Mereka memiliki kedudukan mulia di mata Allah, Rasul, dan umat ini, disebabkan amanah yang mereka emban. Dari sisi manapun kita memang tidak layak mengkritisi mereka apalagi berlagak untuk menggurui. Dari segi individu maupun kapasitas keilmuan, kita belum ada apa-apanya dibandingkan mereka apalagi derajat kemuliaan di mata Allah dan Rasulnya. Maka dalam hal ini kita sengaja membatasi dalam kasus-kasus tertentu.
Setelah runtuhnya Khilafah (kepemimpin umum di tengah kaum muslim) tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari pemimpin umat saat ini. Pemimpin yang ada sekarang sangat jauh dari pemimpin yang pernah ada sebelumnya, baik era khulafaur rasyidin maupun khalifah-khalifah setelahnya hingga runtuhnya khilafah, tahun 1924. Jangankan untuk mengurusi urusan kaum muslimin, membentengi aqidah umat saja mereka tidak mampu apalagi harus berharap yang lebih besar dari itu. Tugas kepemimpinan yang dulu dipegang oleh seorang khalifah mau tidak mau harus dipikul dan disandang oleh para ulama sebab hanya mereka yang mampu memikul amanah tersebut, sampai kembalinya kepemimpin umum ke tengah kaum muslimin.
Untuk konteks kekinian, ulama adalah tempat umat mengadu, tempat umat berkeluh kesah, dan tempat umat meminta solusi ditengah kompleknya persoalan yang dihadapi. Ulama salah satu harapan yang diharapkan menjadi benteng terakhir umat, ulama satu-satunya yang diharapkan mampu untuk membendung segala macam makar dan tipu daya yang datang dan diarahkan kepada generasi dan individu-individu umat.
Mengenai permasalahan yang dihadapi oleh kaum muslim indonesia, jakarta khususnya. Harusnya ulama berada digaris terdepan menyuarakan kebenaran. Tapi sayang peran ulama belum seperti yang diharapkan. Contoh: saat kasus pelegalan Miras di Mini Market Jakarta belum lama ini, tidak terdengar suara penolakan atau kecaman dari ulama mengenai persoalan tersebut padahal ini jelas merupakan kemungkaran. Dari segi hukum ‘khamar’ sudah jelas kedudukannya “Haram”, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, sejak zaman sahabat, tabi’in dan generasi-generasi setelahnya, hingga sekarang.
Mungkin sebagian kecil ada yang merespon? iya, mungkin ada, dan mungkin juga suara mereka digulung oleh besarnya opini media sekular. Tapi yang jadi pertanyaan, kalau pun media sekular sengaja menutup suara mereka harusnya bisa kita temui di media-media islam? Fakta yang terjadi, di media islam pun suara mereka amatlah minim. Atau jangan-jangan media islam juga sengaja menutupinya?, Ini tidak mungkin dilakukan oleh media islam. Atau jangan-jangan respon para ulama memang sangat minim.
Begitu pun dengan kontroversi terbaru Ahok, wacana legalisasi tempat prostitusi di DKI. Tindakan ini pun jelas merupakan kemungkaran dan wajib ditolak oleh umat islam manapun. Kalau kita kembali kepada status ulama yang kita sebutkan di atas, harusnya mereka orang pertama yang merespon persoalan ini. Tapi sayang, sampai sejauh ini ulama belum memberikan respon serius dengan wacana ini, padahal status hukumnya juga jelas “haram”. Di sisi lain bola liar sudah dimuntahkan oleh Ahok melalui media, dan masyarakat sudah dibuat resah dan bergelut dengan kontroversi. Jika ini dibiarkan begitu saja, umat islam akan terus jadi bulan-bulanan Ahok dan media, dan ke depan Ahok dengan semena-mena merusak generasi islam.
Sedikit perbandingan. Sikap ulama agak berbeda jika menyangkut persoalan proyek pemerintah, contohnya ISIS. Ulama begitu cepat merespon persoalan tersebut, bahkan dengan cepat mengeluarkan fatwa-fatwa mengenai kelompok itu tadi. Memang kita tidak menafikan ISIS juga melahirkan kontroversi hebat di tengah masyarakat, tapi status mereka di indonesia kan tidak jelas? Hanya permainan penguasa untuk mendapatkan proyek dari luar. Dan ancamannya pun hanya di awang-awang ‘opini’ tidak bersentuhan langsung dengan masyarakat. Dan ISIS yang ada sekarang kebanyakan hanya ISIS opini plus ISIS pendukung, dan sama sekali tidak mengancam eksistensi umat. Untuk kasus yang gak penting (ISIS) respon ulama begitu besar dan sangat luar biasa sementara dalam persoalan yang jelas-jelas merusak umat “Pelegalan Khamar dan Prostitusi” justru sebaliknya, sangat minim.
Padahal kalau ulama mau serentak bicara, pasti akan didengar. Kita ambil contoh, saat lagi ramainya wacana penghilangan kolom agama di KTP. Tokoh/Ulama dari muhammadiyah Din Syamsudin merespon dan mengecam wacana Jokowi tersebut, terlepas ada unsur coba-coba pemerintah. Yang terjadi apa setelahnya, Jokowi langsung mengklarifikasi langsung melalui media bahwa “tidak ada rencana penghapusan kolom agama di KTP, dan itu hanya isu”. Itu baru satu ulama, bagaimana kalau semua ulama di indonesia bersuara?, Pasti efeknya akan luar biasa. Padahal posisi Ahok sangat kecil jika dibandingkan dengan posisi Jokowi, tidak ada apa-apanya. Jadi persoalan sebenarnya bukan karena suara ulama tidak lagi didengar umat tapi ulama sendiri yang kadang malas untuk bersuara.
Sudah seharusnya ulama merespon wacana tersebut secara serius, karena ini sudah menjadi tugas dan kewajiban ulama. Tindakan Ahok ini sadar atau tidak sudah melahirkan keresahan, kemarahan, dan kebencian mendalam di kalangan umat islam. Jika dibiarkan, puncak kemarahan itu pasti ada, tidak tertutup kemungkinan ada saja yang merespon diluar kewajaran, bisa dalam bentuk anarkis, dsb. Kalau itu terjadi maka efeknya akan berbalik kepada islam, umat islam kembali disalah-salahkan dan jadi bulan-bulanan media.
Sekularisme Demokrasi Akar Masalahnya
Ahok adalah bagian kecil dari struktur pemerintahan indonesia. Statusnya hanya sebatas pejabat Pemerintahan Daerah (Gubernur) yang mengepalai beberapa pejabat daerah di tingkat Kota/Kabupaten. Kewenangannya hanya di lingkup kota Jakarta dan kota-kota lain yang menjadi bagian dari wilayah kekuasaannya, tidak lebih dari itu. Dia sama dan tidak jauh beda dengan gubernur-gubernur lain di masing-masing provinsi di indonesia. Hanya saja, kelebihan Ahok dibanding pejabat gubernur lainnya, dia dikelilingi oleh media-media besar nasional. Dengan media tersebut dia bekerja sama saling menguntungkan ‘rating dan nama besar’, dan dengan media tersebut namanya kian tenar seperti sekarang.
Jika melihat dalam skop yang lebih besar, persoalan Ahok hanya bagian kecil dari sekian banyak persoalan indonesia saat ini. Kenapa opininya begitu besar? Salah satunya karena peran media tadi.
Ahok bisa melakukan tindakan sewenang-wenang dan menunjukan arogansinya kepada umat islam disebabkan karena diterapkannya sistem yang rusak di indonesia, yaitu demokrasi. Dari segi asas, demokrasi jelas bertentangan dengan islam. Aqidah demokrasi adalah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan), dalam mengatur urusan dunia tidak boleh ada campur tangan agama di dalamnya. Berbeda hal dengan islam, islam tidak hanya mengatur masalah ritual umatnya saja tapi juga mengatur urusan pemerintahan. Maka dalam islam, antara agama dan kekuasaan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan, keduanya memiliki kaitan dan hubungan yang erat satu sama lain. Begitupun dari segi nilai, antara demokrasi dan islam juga memiliki pertentangan yang amat nyata dan tidak mungkin bisa disama-samakan.
Demokrasi yang memberikan ruang kepada orang kafir untuk bisa berkuasa dan mengatur urusan kaum muslim. Padahal kalau merujuk kepada al-Qur’an maupun Hadits, disana jelas digariskan ‘larangan menjadikan orang kafir sebagai pemimpin’ Tapi karena sistem yang diterapkan demokrasi maka hal itu menjadi biasa, asal dipilih langsung oleh rakyat, terserah mau pakai cara seperti apa. Akhirnya yang terjadi, Ahok adalah salah satu contoh dari sekian orang kafir yang berhasil menguasai urusan kaum muslimin. Jadi jelas pangkal persoalannya itu ada di sistem, dari sinilah persoalan itu berawal dan bermula. Kalau ingin membereskan Ahok ini dan Ahok-ahok lainnya maka akarnya ini harus dibereskan dulu.
Tidak hanya Ahok, pangkal dari semua persoalan indonesia saat ini semua berawal dari penerapan sistem demokrasi. Sistem inilah yang memberikan ruang kepada orang kafir untuk berkuasa dan sistem ini pula yang melegalkan yang sudah jelas haram di dalam islam (miras dan prostitusi). Dengan alasan demokrasi perkara yang jelas halal-haramnya masih bisa dimusyawarahkan, dan ujungnya sudah pasti umat islam yang harus jadi korban.
Syariah dan Khilafah Solusinya
Jadi dari sekian banyak persoalan persoalan yang ada semua berpangkal dari penerapan sistem yang rusak ‘demokrasi’. Akan berbeda halnya, jika yang diterapkan sistem pemerintahan islam (khilafah). Sistem islam tidak akan memberikan ruang sedikitpun bagi orang kafir untuk berkuasa dan menguasai kaum muslim. Dan dalam islam sesuatu yang sudah jelas-jelas haram tidak perlu lagi dimusyawarahkan. Maka status khamar dan prostitusi dalam negara khilafah sudah jelas “haram” dan tidak perlu lagi dimusyawarahkan, dan keberadaannya sudah pasti dilarang.
Jadi selama sistem demokrasi masih diterapkan di negeri ini, selama itu pula umat islam akan terus dipermainkan. Kalau tidak mau merubah keadaan maka siap-siap saja kedepannya lebih banyak mengelus dada. Karena sejak awal demokrasi memang tidak diperuntukkan bagi islam, tapi sebaliknya ‘untuk menguasai dan menjajah umat islam’.
Sudah selayaknya demokrasi diganti dengan sistem islam melalui penerapan syariah islam secara total (menyeluruh) dalam negara khilafah.
Wallahu’alam..
#IndonesiaKitaTerancam
Selamatkan dengan #Syariah&Khilafah
Menuju #RPAKalsel2015
Banjarmasin, 29 April 2015
Iyal Seprianto
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H