Mohon tunggu...
Iyal Seprianto
Iyal Seprianto Mohon Tunggu... -

#politik

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Operasi Senyap Renegosiasi Kontrak Karya PT. Freeport

4 April 2015   06:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:34 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Joko Widodo kembali menegaskan komitmennya untuk melakukan kerjasama Bilateral dengan negara-negara antar kawasan. Dari sekian negara yang disebutkan, dua di antaranya adalah Jepang dan Cina. Ia merealisasikan ucapannya tersebut dengan kembali mengunjungi dua negara tadi untuk yang kedua kalinya, pada tanggal 22-28 Maret 2015 yang lalu. Dari keterangan yang dihimpun dari berbagai media, Presiden Jokowi memfokuskan kunjungannya dengan melakukan kerjasama di bidang ekonomi. Pada tanggal 30 Maret 2015 tepatnya dua hari pasca kunjungan, Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil mengaku Indonesia membawa 'oleh-oleh' investasi usai kunjungan kerja (Kunker) ke Jepang dan China. Menurutnya, negara itu tergiur membiayai infrastruktur Indonesia. Sofyan kemudian menyebutkan, lebih dari 1.200 perusahaan Jepang sudah mengungkapkan minatnya masuk ke Indonesia. "Kita lihat semangat Jepang luar biasa untuk menanamkan investasinya. Mereka bilang Indonesia bisa menjadi basis produksi untuk ekspor," kata Sofyan di Jakarta, (30/3). Sementara 'oleh-oleh' dari Tiongkok, dalam pertemuan bisnis itu juga menghasilkan respon positif. Kebanyakan investor Tiongkok minat investasi kepada perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Maka dari itu, Sofyan mendesak Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) lebih aktif dalam menjaring investor. "Selama ini kendalanya adalah implementasi atau realisasi itu tidak cukup besar. Itu tantangan BKPM dan pemerintah untuk menarik minat investor ke sini," terangnya (Merdeka, 30/3/2015). Indonesia “dijual” bukan lagi tema yang ingin kita ketengahkan dalam catatan kecil kali ini, karena tema tersebut sudah tergambar jelas saat kunjungan kerja pertama Presiden Jokowi ke luar negeri pada bulan November 2014 yang lalu. Yang perlu kita tekankan disini adalah agenda apapun yang dilakukan oleh Jokowi belakangan ini, baik mengenai kebijakan dalam maupun luar negeri, semua itu tidak lepas dari kontrol politik negara yang menjadi tuannya (Amerika). Tidak stabilnya kondisi dalam negeri terhitung sejak dihapusnya subsidi BBM kemudian disusul dengan kacaunya harga-harga kebutuhan pokok masyarakat, gonjang ganjing politik dan hukum tanah air, anjloknya nilai tukar rupiah dan terbaru ini masyarakat disibukkan oleh isu-isu kelompok ISIS dan terorisme, bagi mereka yang senantiasa memperhatikan setiap perkembangan politik tanah air tidak akan tertipu matanya dari agenda besar yang sedang disembunyikan oleh Pemerintahan Jokowi-JK. Dari sekian yang direncanakan pemerintah, salah satunya adalah upaya menutupi proses renegosiasi kontrak karya (MoU) PT. Freeport dengan Pemerintah Indonesia. Sebagaimana yang sering diberitakan sebelumnya, proses negosiasi kontrak PT. Freeport diperpanjang menjadi 6 bulan dan sampai saat ini proses tersebut masih terus berlangsung. Hanya saja, media tidak lagi mengekspos jalannya proses itu tadi tapi lebih disibukkan oleh gonjang-ganjing kondisi tanah air. Sejauh yang bisa diamati belum ada informasi yang mengatakan secara jelas ‘media’ ikut terlibat dalam pengalihan ini tapi jika melihat dalam skop yang lebih besar ‘tidak tertutup kemungkinan’ media ikut berperan dalam menutupi proses negosiasi tadi. Kemudian, perlu digarisbawahi, seperti apapun kebijakan yang diambil oleh rezim Jokowi dalam mengelola negeri ini, sampai saat ini ia tetaplah antek Amerika, walaupun dalam kaca mata publik terlihat ada kecenderungan berpihak kepada Cina. Gambaran kedekatan dengan Cina seperti yang sering diisukan, menurut saya pribadi “lebih karena faktor politik balas jasa Jokowi kepada konglomerat2 Cina di indonesia”, karena jasa mereka lumayan besar saat proses pemenangan pilpres 2014 yang lalu terutama menyangkut dana. Jejak yang hampir sama juga pernah dilakukan oleh Presiden Indonesia yang pertama (Soekarno) dalam mengelola bangsa ini. Bedanya, Ketika itu Soekarno menggambarkan kedekatannya dengan Uni Soviet dan lebih menekankan kepada pengaturan sistem, yang kita kenal dengan demokrasi terpimpin dan ekonomi kerakyatan, sementara Jokowi tidak berfokus pada masalah itu tapi lebih menitikberatkan kepada keterikatan di bidang ekonomi. Antara Soviet dan Cina, dua-duanya adalah bekas negara sosialis walaupun Cina bukan sosialis murni. Sekali lagi, baik Soekarno ataupun Jokowi tetap dibawah kontrol Amerika. Dan tidak tertutup kemungkinan langkah yang ditampilkan Jokowi sekarang itupun atas dasar agenda politik Amerika di belakangnya. Bagaimana memposisikannya?, Negara-negara imperalis terutama Amerika Serikat memiliki kepentingan luar biasa besar di negeri, terutama di bidang politik dan ekonomi. Yang tergambar di benak publik ketika membayangkan Amerika adalah 1) Arogan, 2) Penjajah, 3) Terlalu ikut campur dalam persoalan Indonesia. Belakangan ini gugatan mengenai keberadaan perusahaan-perusahaan besar Amerika yang bercokol di negeri ini seperti Freeport salah satunya, mulai dipertanyakan dari waktu ke waktu, ini disadari oleh Amerika langsung ataupun tidak. Ditambah lagi kontrak Freeport akan segera berakhir pada tahun 2021 yang akan datang. Jika masyarakat dibiarkan terlalu kritis dalam mempersoalkan keberadaan Freeport di Indonesia maka secara tak langsung akan berakibat bagi kelangsungan perusahaan ini ke depan. Setidaknya perlu pengalihan opini dalam 6 bulan ke depan sampai perpanjangan kontrak disahkan oleh pemerintah indonesia. Maka dari itu dibutuhkan langkah lebih untuk mengimbangi opini yang beredar di masyarakat soal gugatan keberadaan Freeport dengan menyibukkan masyarakat dengan persoalan-persoalan klasik. Dan satu lagi, dengan adanya kerjasama lebih yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dengan Cina dan Jepang baru-baru ini, publik akan teralihkan perhatiannya kepada dua negara tadi dan mulai mengkritik keberadaan Cina dan Jepang di Indonesia, bukan melulu fokus kepada perusahaan Amerika. Penutup: Setiap permasalahan yang muncul atau dimunculkan belakangan ini semuanya tidak lepas dari agenda politik presiden dan tuannya dalam meliberalisasi Indonesia secara utuh. Sejauh yang kita amati, belum ada satupun kebijakan yang dikeluarkan pemerintahan Jokowi-JK tujuan untuk kepentingan rakyat, kalau tidak semuanya hampir sebagian besar kebijakan tersebut untuk melayani kepentingan para pemilik modal atau kalau tidak asing. Memang benar, kita tidak ingin masyarakat indonesia menganggap remeh persoalan yang banyak bermunculan belakangan ini, tapi kita juga tidak boleh lupa ada persoalan yang sebenarnya jauh lebih besar yang sedang mengancam Indonesia saat ini, yaitu, neoLIBERALISME dan neoIMPERIALISME. ‪#‎IndonesiaKitaTerancam‬

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun