Mohon tunggu...
Iyal Seprianto
Iyal Seprianto Mohon Tunggu... -

#politik

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Akankah PDI Perjuangan Kembali Menjadi Partai Oposisi ?

9 April 2015   10:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:20 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sensasional partai politik memang tidak ada habisnya. Baru-baru ini mencuat kabar Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mulai merasa gerah dengan sikap dan kebijakan yang diambil oleh Presiden Jokowi beberapa bulan belakangan. Opini tersebut mengatakan, Presiden Jokowi tidak lagi intens menjalin komunikasi bersama parpol-parpol pendukung khususnya PDIP, kemudian ditambah dengan kebijakan yang ia lahirkan menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat. Kebijakan tersebut sedikit banyaknya berimbas kepada PDIP sendiri, langsung ataupun tidak. Sebab, PDIP merupakan Parpol pendukung pemerintah saat ini.

Dari segi opini, sedikit banyaknya bisalah dimanfaatkan oleh kelompok tertentu terutama Partai Oposisi (KMP) untuk mencitrakan image negatif terhadap Pemerintah Jokowi-JK dan Parpol pendukungnya. Tapi dari segi efek, ini tidak akan berpengaruh sedikitpun terhadap pemerintahan Jokowi-JK ke depan, karena opini yang dibangun tidak memiliki kualitas sama sekali. Dan kemungkinan PDIP berpaling menjadi oposisi masih sangat kecil ditambah dengan kedudukan PDIP sejak awal sudah jelas, yakni bersama pemerintah.

Ketegangan yang terjadi baru-baru ini di internal PDIP bukan disebabkan karena menguatnya gesekan dua faksi (ProMega dan ProJokowi) di tubuh parpol tersebut tetapi lebih kepada faktor kepentingan politik ketua umum PDIP saat ini (Megawati Seokarno Putri). Kita tahu, sejak awal Mega telah memerintahkan segera mengangkat Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri tetapi sampai saat ini perintah tersebut belum dilaksanakan oleh Presiden Jokowi. Padahal pengangkatan BG erat kaitannya dengan nama besar Mega ke depan di mata publik, khususnya pendukung.

Isu gesekan yang terjadi di internal PDIP sebenarnya sudah mengemuka sejak awal, pasca pencalonan BG sebagai Calon Kapolri, ini ditandai dengan keluarnya pernyataan tajam Politisi Senior PDIP ‘Effendi Simbolon’ yang mengatakan “umur pemerintahan Jokowi tidak akan bertahan dalam dua tahun”, hanya saja perpecahan tersebut belum di ekspos sedemikian rupa di media massa seperti saat sekarang.

Kaitan dengan di atas, kita bahas sedikit KMP (Golkar). Perpecahan di internal Partai Golkar sudah mulai terasa sejak ARB memecat beberapa kepengurusan partai di daerah. Ini sedikit banyaknya melahirkan golongan sakit hati dan gejolak baru di tubuh partai kuning tersebut. Perpecahan semakin menguat pasca penetapan Agung Laksono sebagai ketum tandingan. AL ngotot mengatakan dirinya sebagai ketum yang sah dan siap bertarung dengan ARB. Konflik ini semakin memanas pasca Menkumham ikut ambil bagian dalam perseteruan itu dan mengakui kepengurusan Munas Ancol sebagai pengurus yang sah. Sampai saat ini pendirian AL dan Menkumham belum berubah, walaupun Pengadilan Tinggi Umum Negara (PTUN) sudah menetapkan ARB sebagai ketua umum sah Partai Golkar.

Peran metroTV selaku corong pemerintah dinilai lumayan besar. Sebab, media ini sudah nongkrong sejak awal dimulainya konflik tadi, kemudian dikemas dari waktu ke waktu sehingga menimbulkan polemik yang tak berkesudahan. Alasan metro tentu jelas, 1) posisinya sekarang, 2) pertarungan individu pemegang dua media besar nasional.

Permainan pemilik metro bersama pemerintah sebenarnya sudah dibaca oleh ARB. Dengan alasan itu pula, ARB sengaja memainkan medianya ‘tvONE’ untuk mengangkat isu perpecahan di internal PDIP. Hanya saja kemasan tvONE belum seapik metro. Alasannya jelas, metro memiliki orang-orang (pengamat) bayaran yang setia menyuarakan misi dan tujuan media tersebut, ditambah lagi, pengamat tadi dalam pandangan publik sudah berkompeten di bidangnya. Sementara tvONE, walaupun pengaruh media tersebut tidak diragukan lagi tetapi salah satu kekurangannya ‘belum memiliki pengamat-pengamat bayaran’. Dari sini kita bisa lihat perbedaan kualitas antara kedua media tadi dalam memecah belah parpol.

Sebenarnya sudah jelas, kenapa isu perpecahan di internal PDIP sedikit lebih terasa dibanding sebelumnya. Salah satunya, tidak lepas dari peran satu diantara dua media nasional tadi, disamping ada agenda penting yang sedang dimainkan oleh ketum PDIP saat ini.

Kembali kepersoalan pokok. Akankah PDIP kembali menjadi Partai Oposisi? Jawabannya Tidak!. Sebab, PDIP sudah nyaman dengan kondisi sekarang, titik.

Perseteruan belakangan ini hanya agenda politik yang dijalankan oleh ketum PDIP untuk menekan Presiden Jokowi. Sudah jadi rahasia umum, Jokowi dalam pandangan PDIP hanya seorang petugas partai, jadi dalam menjalankan roda pemerintahan ia tidak bisa lepas dari kontrol PDIP. Belakangan ini Jokowi sengaja memberi ruang (jarak) dengan PDIP, hal ini ditandai dalam banyak kasus terutama menyangkut persoalan penetapan kebijakan BBM. Langkah ‘jaga jarak’ tersebut ia lakukan agar publik tidak memandang dirinya sebagai jongos Megawati dan supaya tidak terkesan di intervensi terus.

Efek dari sikap tadi kemudian melahirkan tekanan politik kepada Jokowi sendiri. Bisa kita lihat dari pernyataan yang dikeluarkan DPP PDIP Pramono Anung tadi malam, disebutkan:

“Dalam penetapan kebijakan BBM Jokowi langsung memutuskan hal tersebut tanpa mengkonsultasikannya dengan PDIP (Mega), padahal imbas (efek) dari penolakan masyarakat bukan hanya kepada Jokowi tapi juga kepada PDIP”, kemudian ia melanjutkan “seolah-olah PDIP hanya sebagai pemadam kebakaran (meredam kemarahan masyarakat atas kebijakan tersebut)”. (metroTV, 8/4).

Ini bahasa komunikasi yang dipakai oleh politisi PDIP untuk menekan Jokowi. Menarik memang, seolah sedang memikirkan persoalan rakyat, padahal kalaupun Mega menjadi presiden iapun akan melakukan hal serupa (menaikkan/menghapus subsidi BBM), rekam jejak gak akan bisa bohong dalam kasus ini. Cuma bedanya, megawati tidak bisa ditekan oleh parpolnya sendiri tapi intervensi dari luar, sementara Jokowi dari keduanya (parpol pengusung dan asing).

Kata kunci yang mempertegas PDIP tidak akan menjadi partai oposisi, bisa kita saksikan dalam wawancara terakhir metroTV dengan Ketua DPP PDIP Pramono Anung tadi malam. Sebagai penutup acara tersebut, host kembali menanyakan, apakah PDI Perjuangan ada rencana kembali menjadi parpol oposisi?, dengan tegas PA mengatakan “PDIP tidak akan menjadi partai oposisi. 10 tahun sudah cukup bagi PDIP untuk menjadi Partai Oposisi”.

Penutup: Dari catatan singkat di atas, setidaknya menjadi jelas seperti apa dan dimana kedudukan partai yang dulu lantang teriak pro ‘wong cilik’ itu sekarang. Sekaligus menjadi tolak ukur bagi publik seperti apa sebenarnya parpol-parpol yang ada sekarang. Yang mereka kedepankan bukan kepentingan rakyat sebagaimana jargon-jargon manis mereka tapi lebih kepada kepentingan politik mereka. Terlepas apakah dengan keputusan tersebut ada imbasnya kepada masyarakat atau tidak, itu tidak mereka persoalkan, tapi yang jelas kepentingan individu dan kelompok adalah hal utama dan diutamakan. Ini sudah menjadi ciri khas bagi ‘parpol pragmatis’ secara keseluruhan, dimanapun. Dan ini hanya bagian kecil dari efek diterapkannya sistem Demokrasi.

Solusinya, #‎GantiRezimGantiSistem!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun