Di dalam ruang maya yang semakin kompleks, gelombang teknologi yang memajukan masyarakat seakan membuka pintu ke dunia paralel: revenge porn, suatu fenomena yang tak hanya merusak privasi digital, tetapi juga menjadi refleksi tajam dari ketidaksetaraan gender yang masih mengakar dalam pola budaya kita.
Revenge porn adalah kegiatan penyebarluasan gambar maupun video intim yang dibuat untuk kepentingan pribadi kepada publik melalui internet tanpa adanya persetujuan dari individu yang ditampilkan dalam konten tersebut.
Dalam buku Pornography and the Criminal Justice System, Carmen M. Cusack menyebutkan bahwa revenge porn dibuat dengan maksud untuk mempermalukan, melecehkan, atau bahkan mengintimidasi korban yang biasanya disertai dengan ancaman.
Faktanya, bahwa sejauh ini korban dari revenge porn mayoritas adalah perempuan. Sejalan dengan survei pada tahun 2013 yang bertajuk 'Effects of the Revenge Porn' menemukan bahwa 90 persen korban adalah perempuan.
Seringkali korban harus menghadapi beban ganda. Pasalnya, bukan hanya mengalami tekanan akibat malu dan perasaan bersalah, melainkan juga korban harus menanggung konsekuensi sosial budaya yang kerap kali tidak berpihak pada korban.
Dalam jurnal Psychiatr Psychol Law (2020), korban revenge porn yang kebanyakan perempuan, dianggap 'bebas' dan 'tercela'. Penelitian Cyber Civil Right Initiative juga menunjukkan bahwa respons yang didapat perempuan cenderung menyudutkan.
Dalam masyarakat kita, perempuan masih sering dijadikan objek dalam suatu hubungan. Dengan adanya budaya misogini yang tumbuh subur dan mengakar dalam masyarakat kita menempatkan tubuh perempuan sebagai objek seksual.
Budaya patriarki yang masih kental di Indonesia juga menimbulkan masalah bagi korban kasus revenge porn. Korban dalam hal ini pihak perempuan seringkali dianggap sebagai orang yang paling bersalah dan tidak jarang orang orang sekitar memberikan label sebagai perempuan murahan, perempuan nggak bener, dan lain sebagainya.
Dampak Revenge Porn bagi Korban
Revenge porn kemudian memberikan dampak bagi para korban baik dari segi mental, psikologis, serta dampak lain yang memberikan tekanan yang cukup serius.
Studi mencatat bahwa 49% korban melaporkan bahwa mereka mengalami cyberharrassment dan cyberstalking oleh para mengguna media online yang melihat foto mereka diunggah.