Tetapi!
Kini sekolah tersebut sama sekali telah berubah. Gairah mengajar para guru menurun. Prestise sosial mereka pun hilang. Mereka mengeluh karena yang diajar anak-anak bodoh (menurut istilah guru) yang keadaan mereka selalu dibandingkan dengan siswa tahun-tahun sebelumnya.Â
Ketika pagi atau saat pulang, jalan depan sekolah macet dan dari pintu mobil "cling" penjemput merebak aroma wangi, pengharum kendaraan. Kini anak-anak datang dan pulang sekolah tak ada yang mengantar.Â
Mereka jalan kaki karena rumah mereka dekat sekolah. Putu Geo dan beberapa temannya adalah segelintir siswa yang diantar jemput karena rumah mereka jauh dari sekolah ini.
Keadaan tersebut tidak jua dipahami oleh orang tuanya, apa sesungguhnya yang terjadi sekarang di sekolah ini, sejak beberapa tahun terakhir ketika PPDB zonasi diberlakukan.Â
Semenjak itu tidak ada lagi kumpulan anak-anak cerdas di sini. Kualitas siswa sesuai dengan keadaan warga masyarakat di zona. Kondisi siswa yang bervariasi seperti ini, ditemukan di seluruh sekolah, baik di kota maupun di desa.
Di sekolah ini Geo tidak istimewa, hanya siswa yang ada di atas rata-rata. Pada suatu acara rapat orang tua, bapaknya hadir. Sudah tentu dia dapat melihat kenyataan secara langsung.
 Tidak banyak orang tua karena mereka sibuk bekerja di pasar atau berburuh bangunan. Di antara yang hadir inipun tidak mencerminkan orang tua yang menaruh harapan tinggi kepada pendidikan anak-anak mereka.
Orang tua Geo tentu terkejut. Dia kini menyadari bahwa PPDB zonasi yang menyebabkan perubahan. Dia seperti tengah menyadari kekeliruannya. Prestise yang diharap tidak ada lagi. Ia merasa sangat bodoh dan menyesal.
Di samping menyesal dia mencoba mengerti lebih jauh. Sekolah favorit ada karena semua siswanya cerdas, dijaring melalui sistem rangking nilai. Sekolah tertentu bebas mengambil anak-anak yang pintar.
 Sekolah lain mendapat sisa-sisa. Demikianlah pandangannya. Ia tiba-tiba merasa salah karena memaksakan diri memasukkan anaknya di sekolah yang ternyata bukan lagi sekolah favorit.