Protes PPDB zonasi yang pada intinya mempersoalkan kecilnya persentase jalur prestasi akademik merepresentasikan pemahaman dangkal orang tua terhadap perubahan-perubahan paradigma pendidikan. Yang juga secara lebih ekstrem seperti kata-kata Paulo Freire. Â Freire telah mengingatkan dengan tegas bahwa setiap orang harus berjuang untuk menjadi manusiawi.Â
Maksudnya, mampu membebaskan diri dari kesadaran penindasan yang dikonstruksikan oleh kalangan atas. Yang mana pemerintah ingin merealisasikan pemikiran Freire tetapi segelintir masyarakat yang merasa berkuasa dan kalangan atas, dengan menolak PPDB zonasi, ingin melakukan penindasan bagi siswa kelas bawah.
Mereka tetap memandang bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencapai prestasi berupa daftar angka sempurna di buku rapor atau ijazah. Kurikulum 2013 telah mengubah pelaporan hasil belajar siswa, dari kuantitatif menjadi kualitatif. Jauh sebelum ini di sekolah-sekolah berkembang paradigma keseimbangan otak kanan dan kiri karena sebelumnya pendidikan hanya menghargai otak kiri.Â
Tujuan pendidikan sejatinya holistik (nalar, tindakan, dan sikap). Pada dasarnya setiap sekolah mendidik anak agar menjadi anggota masyarakat yang berguna. Namun, pendidikan di sekolah sering kurang relevan dengan kehidupan masyarakat. Dan, tujuan pendidikan hanya parsial, yakni pada segmentasi nalar (kognitif).
Hal itu memang dipicu sejak lama oleh kurikulum disekolah yang kebanyakkan berpusat pada mata pelajaran yang tersusun secara logis dan sistematis yang tidak nyata hubungannya dengan kehidupan sehari-hari. Apa yang dipelajari tamapaknya hanya perlu untuk kepentingan sekolah untuk ujian dan bukan untuk membantu anak agar hidup lebih efektif dalam masyarakatnya.
"Kisruh" PPDB zonasi juga menunjukkan bahwa sekolah dipandang oleh masyarakat sebatas tempat belajar untuk ranah nalar. Masyarakat memahami tujuan pendidikan sangat sempit.Â
Pandangan ini melandasi tuntutan masyarakat terhadap sekolah. Yang aneh, sekolah dan para guru mengikuti kesalahpahaman masyarakat, tidak mau menjelaskan, bahwa tujuan pendidikan bukan hanya prestasi kuantitatif, yang mana menurut Freire, para murid diperlakukan sebagai objek teori pengetahuan yang tidak berkesadaran terhadap realitas di sekelilingnya.
Pembangunan pendidikan selama ini yang berbasis pada sekolah ternyata kurang melibatkan masyarakat. Sekolah sama sekali tidak berperan secara sosial dan dipandang sebagai institusi "asing" dan tertutup.Â
Hal ini hendak diganti dengan pengembangan sekolah berbasis suatu kawasan atau wilayah. Sekolah dihadirkan di tengah-tengah wilayah pemukiman. Tahap awal pendekatan baru ini adalah menerima siswa dari zona sekolah sehingga sekolah benar-benar ada untuk masyarakat tersebut dan masyarakat ikut memiliki.
Satu contoh nyata zonasi adalah di SMPN 2 Singaraja. Kini pada jam masuk dan keluar sekolah, jalanan kota dipenuhi oleh siswa yang pergi sekolah berjalan kaki.Â
Artinya sekolah ini dijangkau oleh siswa dengan jalan kaki dan meringankan tugas orang tua harus antar-jemput anaknya. Sebelum zonasi, saat jam menjemput jalan di depan sekolah ini macet karena dipenuhi oleh para penjemput. Sayang sekali, paradigma pembangunan pendidikan berbasis suatu kawasan atau zona, kurang dipahami secara mendalam dan luas oleh masyarakat.