Gerakan literasi telah sedemikian populer dan sangat menarik banyak minat, baik perseorangan maupun komunitas, terpanggil menyelenggarakan aksi nyata. Namun demikian, bagi para pegiat literasi, gerakan ini memberi satu kesadaran mengenai hambatan besar masyarakat untuk berubah secara fundamental.
Maka yang mendasar dari literasi adalah basis kultur suatu masyarakat yang terentang dalam sejarah yang panjang, apakah masyarakat hidup dalam alam keberaksaraan atau kelisanan. Para pegiat gerakan literasi berhadapan dengan kultur masyarakat keberaksaraan semu karena sering dikaburkan oleh terjadinya modernisasi.
Pendidikan modern yang dikembangkan dalam sistem nasional negara, yang menggunakan buku, membaca, dan menulis, ternyata tidak pernah sanggup mengubah basis kultur lisan masyarakat.Â
Keberaksaraan dalam dunia pendidikan mendapat porsi yang sangat sedikit dan karena itu tidak penting sehingga para lulusan pendidikan dari segala jenjang sangat sedikit yang benar-benar mengalami perubahan radikal transformasional atas dirinya, dari pribadi berkultur lisan menjadi pribadi berkultur aksara.
Dalam kondisi inilah semakin urgen gerakan literasi yang dipelopori oleh sekolah-sekolah dalam Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang sudah sangat terkenal. Namun hanya menjadi kegiatan hiasan saja di sekolah dengan rutinitas membaca buku nonpelajaran selama 15 menit. Para guru yang diharapkan menjadi ujung tombak gerakan ini juga tidak bisa berbuat lebih selain menjadi bagian rutinitas.Â
Sekolah pun diam-diam menyepakati GLS dipandang sudah selesai atau dapat berjalan dengan baik jika siswa sudah membaca selama 15 menit, secara massal di halaman-halaman upacara.
Tujuan gerakan literasi, demikian pun GLS adalah untuk melakukan transformasi sosial pada diri setiap siswa agar mereka lewat atau dalam kerangka mengikuti pendidikan negara, mengalami transformasi sosial, pada akhirnya menjadi pribadi yang literasi, menjadi bangsa yang literasi sepuluh tahun yang akan datang.
 Di luar sekolah juga muncul berbagai gerakan literasi, seperti terbentuknya kampung-kampung literasi di berbagai wilayah Indonesia, terbentuknya desa literasi, seperti Desa Literasi Batungsel yang diprakarsai dan dirintis gerakannya oleh LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat) Universitas Pendidikan Ganesha, yang mana gerakan ini bertujuan untuk melakukan transformasi sosial dalam bidang keberakasaraan masyarakat atau literasi dalam arti yang lebih tinggi, bukan lagi soal pemberantasan buta huruf, seperti yang dulu terjadi dalam pembangunan nasional pada masa awal kemerdekaan atau kegiatan baca buku selama 15 menit.
Desa literasi sebagai suatu gerakan literasi yang tumbuh, berbasis, dan menyasar masyarakat yang sangat heterogen, jauh lebih sulit ketimbang GLS yang walaupun secara mekanik dan rutin masih tetap bisa berjalan, sehingga memungkinkankan di antara ratusan siswa akan ada yang mencapai tahapan transformasi literasi dalam dirinya.
Tetapi gerakan desa literasi di sebuah desa yang warga desanya sibuk bekerja dan kegiatan sosial, gerakan ini sangat sulit dijalankan. Kehidupan mereka jauh dari buku dan membaca.Â
Bisa dimaklumi karena mereka menjadi generasi penerus kultur masyarakat lisan. Maka gerakan desa literasi harus mampu memotong arus sejarah sosial ini dan memulai dengan pembangunan kultur masyarakat beraksara.