Ada sebuah gitar di pojok ingatan. Tak lagi bernyanyi, tak lagi riuh. Pintu usianya telah tutup, terlihat lapuk. Jika ada satu tempo, kupandang bisu. Terkenang melodi yang harmoni pernah lahir dari getar getar tali yang tak lagi utuh dan bercorak debu kala ini.
Orang berkata dia sudah habis. Mati. Patah berlubang, retak berkarat. "Buang saja dan bakar", lanjut mereka sedikit menghujat. Kusimak kata kata itu, benar kata mereka, jika aku adalah mereka.
Ingin saja kusampaikan apalah saja alasan hingga gitar itu ada di pojok situ, tapi rasaku mereka tidaklah mungkin lupa kalau hati mereka pernah tersiram sukacita karena gitar itu pernah hidup dan tekun menghibur. Namun baik jika aku diam, karena diam adalah mungkin jawaban bijak  yang pernah disampaikan gitar itu suatu waktu lalu.
Kini kusimpan saja gitar itu dipojok, toh tak mengganggu siapapun. Yang kusimpan bukan hanya jasadnya, juga semangatnya yang tak beruban, karat lagi berdebu. Walau telah berhenti, pernahlah dia memberi yang berarti.
Esok jika ada yang bertanya tentangnya, akan kujawab, "jangan gaduh dia sedang tertidur, kenanglah saja sejuta tembang yang pernah kita nyanyikan bersama di  tahun lampau. Dan jika masih pula ada yang bertanya siapa dia?, akan kujawab pula dengan bisik bisik, "dia yang sedang tertidur itu sahabat seumur hidup, dia adalah Rey.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H