Mohon tunggu...
Iwan Octovio
Iwan Octovio Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

WORK FOR PEACE!!!

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Jakarta Macet, Jakarta Padat, Siapa Suruh Ke Jakarta ?

29 Januari 2011   10:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:04 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yang ada di Jakarta sekarang 99% adalah  keluhan. Mulai dari pagi hingga malam, dari gubuk reot sampai gedung megah, dari jalan tikus hingga jalan-jalan utama, dari angkutan biasa sampai busway, yang ada hanya 1001 keluhan. Kurang ini atau itu, terlalu ini dan itu, semua melebur menjadi satu. Rasanya pun luar biasa. Ketika menelepon atau berkomunikasi dengan kerabat dan teman-teman yang tinggal di Jakarta, jarang ada kabar gembira atau sesuatu yang enak didengar, kecuali jawaban singkat dan basa-basi, "kabar gue baik, lo gimana ?", setelah itu isi obrolan terdengar merisaukan, "wah, udah capek  kerja seharian, hari ini banjir, trus  pas pulang macet, busyet 2 jam lagi bro". Ada pula yang berkata, "dah biasa sore gini macet, paling jam tujuh nanti baru nyampe." Padahal kegiatan kantor atau perusahaan selesai  jam lima sore. Mendengar keluhan yang ada, saya merenung dalam-dalam, apa yang diharapkan dengan cara hidup ataurutinitas seperti itu ? , demi uang, kesenangan, pekerjaan, fasilitas, kesehatan atau demi apa ?, apa sebenarnya yang dipikirkan dan diinginkan oleh manusia yang tinggal di Jakarta. Pasti ada sesuatu !!!.

12962974321304196251
12962974321304196251
Kesan pertama ketika sampai di Jakarta beberapa tahun silam sungguh amburadul. Mirip sekali seperti yang saya lihat di televisi atau gambar-gambar yang ada di berbagai surat kabar. "Ibu Kota Negara kok seperti ini !?", bisik saya di dalam hati, parah. Ada gedung tinggi, megah dan bagus, tapi tidak jauh dari situ aliran sungai yang penuh dengan limbah busuk mengalir pelan tak teratasi, dihiasi gubuk-gubuk reot dan pemukiman kumuh, Jakarta semakin indah, semakin mencirikan bagaimana Indonesia hidup.
12962976201275894464
12962976201275894464
Kendaraan umum atau pribadi yang berjalan pelan karena macet, sangat pelan, terlihat seperti prosesi pengantaran jenazah menuju ke pemakaman. Di dalam kendaraan yang terjebak kemacetan  terlihat wajah-wajah lelah, hampir mirip orang berduka. Di sisi lain pengendara motor seperti lalat yang terbang liar hinggap ke sana dan kemari, tidak peduli ini jalan siapa, giliran siapa. Semakin lama dihayati suasana ini, semakin saya paham mengapa Indonesia begini. Jika saat ini banyak kalangan mengeluh karena Jakarta semakin berantakan, wajar saja. Yang terjadi saat ini merupakan hasil kerja buruk dari puluhan tahun lalu. Apa yang dirasakan saat ini adalah hasil dari yang ditabur dahulu. Lalu mengapa masih bertahan di Jakarta ? Apakah Indonesia hanya Jakarta ? ataukah uang hanya ada di Jakarta ? atau tempat lain tidak memiliki prospek ? Bukankah Indonesia cukup luas ? masih banyak daerah yang bisa dijadikan tempat untuk tinggal, bekerja,  hidup, jauh dari kepadatan serta kemacetan?. Jawabnya hanya manusia yang hidup di Jakarta yang tahu. Jika di Jakarta macet, siapa suruh datang ke Jakarta ? Indonesia masih luas. Pergilah ke Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, atau ke Papua. Masih banyak tanah kosong yang bisa dijadikan tempat untuk hidup, dan masyarakat tertinggal di sana tentu butuh orang-orang pandai supaya mereka juga bisa belajar dari ketertinggalan.
1296297813115003107
1296297813115003107
Jadi berhentilah pergi ke Jakarta. Berhentilah menjadi penyumbang kepadatan dan kemacetan. Ibu Kota Negara ini harus dirawat dan disembuhkan. Banyak tempat dan wilayah yang masih bisa dijadikan tempat untuk berjuang mempertahankan kehidupan. Tetapi jika masih berkeras hati, silahkan datangi, saksikan, dan rasakan sendiri bagaimana Jakarta itu.. Jangan lupa, jika suatu hari anda mengeluh ingatlah lagu ini : Sapa suru datang Jakarta Sapa suru datang Jakarta Sandiri suka, sandiri rasa Eh doe sayang Sapa suru datang Jakarta Sapa suru datang Jakarta Sandiri suka, sandiri rasa Eh doe sayang By: Melky Goeslaw Untuk Saudariku Tercinta Helena Claudia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun