Mohon tunggu...
R R
R R Mohon Tunggu... -

SSSstttt....

Selanjutnya

Tutup

Catatan

'Kemerdekaan' dalam Kemerdekaan

17 Agustus 2014   15:22 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:20 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemerdekaan ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka segala bentuk penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, begitu katanya. Beruntunglah kita lahir di Indonesia, dan lebih beruntung lagi lahir setelah Indonesia menyatakan dirinya merdeka dari penjajahan. Meski begitu, ada yang lebih beruntung lagi, yaitu mereka adik-adik kita yang lahir di era-reformasi, tak pernah bersentuhan dengan rezim orde baru, hanya melihat melalui teks buku dan sedikit video yang masih tersisa.

Kita tak pernah meminta untuk dilahirkan sebagai warga negara apa, tak pernah ingin dan tak pernah tahu akan lahir di Indonesia atau di negara mana. Setiap orang bisa saja lahir dan besar di Afrika, Eropa, Timur Tengah, Asia Selatan, Indonesia, atau Singapura. Kita tak pernah bisa memprediksi akan terlahir dimana, itu semua sudah dicatat dalam tulisan-Nya.

Terbayang jika kita terlahir di negara yang sedang berkonflik dan ‘dikutuk’ untuk selalu berada dalam situasi perang, mungkin kegiatan sehari-hari kita adalah perang. Terbayang lagi jika kita terlahir pada zaman negara saat sedang dijajah, mungkin kegiatan sehari-hari kita adalah memberikan perlawanan dalam bentuk apapun. Terbayang betapa indahnya juga jika kita terlahir sebagai warga negara sebuah negara maju, hidup kita mungkin berada dalam dunia kualitas tingkat pertama, bukan dunia ketiga. Dalam kehidupan joki three in one saja di jalan, orang ketiga itu tak dianggap, hanya dibutuhkan ketika perlu, bukan sebagai kebutuhan, tapi pelangkap, setelah itu dilupakan, dibuang, tak berarti sama sekali.

Dan inilah sekarang kita terlahir di tanah Nusantara yang telah merdeka dengan perjuangan yang gigih dari para leluhur kita, dengan tujuan yang suci dan mulia sesuai dengan pembukaan UUD 1945, yang setiap hari Senin selalu diteriakan di kuping kita ketika kita masih kecil, pendoktrinan nasionalisme. Melihat lebih jauh lagi, sebenarnya kita tak meminta untuk dilahirkan sebagai manusia, lebih dalam lagi sebenarnya kita tak pernah meminta Tuhan untuk melahirkan kita! Tapi bagaimana lagi, kita sudah dilahirkan ke dunia melalui orang tua kita dan terlahir sebagai manusia, manusia Indonesia khususnya, sebuah jalan yang telah digariskan oleh-Nya dan tak pernah bisa kita lawan.

Apa sebenarnya kemerdekaan itu? Apakah kebebasan? Kebebasan dalam banyak hal? Kita yang dikutuk lahir sebagai manusia saja tidak pernah benar-benar bisa bebas, jika kita bisa bebas, kenapa kita lahir dalam bentuk ‘manusia pada umumnya’? Jika manusia bebas, mengapa dia tidak bisa lari dari kematian? Bukankah ini berarti manusia tidak bebas? Dalam hal lain dan dilihat dari sudut pandang lain pun manusia selalu berada dalam ketidakbebasan.

Menetes air mata saya ketika nyanyian lagu-lagu nasional diputarkan di dekat saya. Gemetar hati saya ketika anak-anak kecil yang tulus mencintai Indonesia menari-nari penuh bangga keindonesiaan di depan saya. Hilang rasio saya ketika melihat orang-orang pedalaman dengan berbagai kekayaan budayanya dan keindahan alamnya yang begitu luar biasa dan beraneka ragam nampak di depan mata saya. Keimanan seseorang akan terukur jika ketika disebut  nama Tuhan, hatinya bergetar. Ini bukan masalah keimanan, tapi cinta, karena ketika nama Indonesia disebut, bukan saja hati yang bergetar, tetapi juga kadang nalar tak berjalan seperti semestinya.

Lantas kenapa doa saya di pagi hari ini, di hari kemerdekaan ini yang sedang digembar-gemborkan oleh banyak orang secara simbolik, hanya sebuah doa kecil, ‘Semoga bisa pindah kewarganegaraan, amin”? Apakah bentuk ketidakpuasaan? Mungkin ya, tapi itu bisa dilakukan perbaikan oleh kita sendiri. Tapi bagaimana kalau perbaikan itu sepanjang umur hidup kita, dan itu tak pernah baik-baik? Apakah kita akan menghabisakan hidup kita untuk terus memperbaiki, sedangkan kita tahu itu sudah sulit untuk diperbaiki. Kata sebagian orang tidak apa-apa, karena setidaknya kita hidup dalam perjuangan untuk memperbaiki, sebuah ekspresi cinta.

Banyak sekali masalah, wajar, karena mayoritas negara memiliki masalah yang menimpa kehidupan bernegaranya. Karena untuk apa ada pemerintah? Bukankah pemerintah ada untuk menangani masalah-masalah itu? Tapi bagaimana jika pemerintahnya bekerja hanya untuk dirinya sendiri dan partainya? Bagaimana jika pemerintahnya tidak pernah memihak orang-orang kecil? Hanya memihak para pengusaha kaya yang dengan mudah bisa menyewa pembunuh bayaran. Bagaimana jika pemerintahnya sudah benar, tetapi masyarakatnya ada saja yang eror? Bagaimana jika di tingkat atas atau bawah sudah benar, tapi bidang lain di birokrasi itu kacau?

Kita lihat saja, media menaikan berita tentang Indonesia pemilik terbesar orang kelas menengah di Asia. Selain itu laju pertumbuhan ekonomi Indonesia dipandang bagus, tapi itu semua untuk siapa? Orang awam dan orang kecil seperti saya dan orang-orang di sekitar saya tak perlu hal-hal yang seperti itu. Faktanya apa? Orang kaya semakin kaya, orang miskin tambah miskin. Mencari perkerjaan sangat sulit, sekalinya dapat langsung dijerat dengan peraturan yang menindas. Beasiswa? Jangan dibicarakan, lihat saja kenapa orang-orang yang sebenarnya mampu malah bisa menikmati berbagai macam beasiswa, sedangkan yang benar-benar tidak mampu hanya bisa menggigit jari karena sulitnya dan dipersulit dalam memenuhi syarat-syaratnya.

Mengurus KTP, KK, bagaimana ruwetnya? Di sektor mana saja ada pungli? Mengenai hukum, ah sudahlah … semuanya bisa dibeli dengan uang, untung saja masih ada sarjana-sarjana hukum yang memihak pada orang kecil dan tertindas. Kemacetan? Solusinya sangat jenius sekali, mengeluarkan mobil murah (katanya)! Bukan membatasi peredaran mobil di kota-kota besar, ini malah mengeluarkan mobil murah! Solusi kemacetan? Ruwet sekali, entah karena birokrasinya, entah karena orang-orang yang kita pilih di pemilu itu memang tidak kreatif dan hanya mencari nama besar, jabatan, dan uang.

Lihat saja sepak bola, Timnas U-19. Awalnya baik sekali, semakin ke sini semakin diganggu oleh induk semang sepak bola Indonesia. Tim diubah-ubah lagi, dieksploitasi dengan berbagai cara, disuruh tour-tour-lah, didekati para politisi-lah, dsb. Lihat saja, untuk kejuaraan sepak bola, organisasi terbesar di negeri ini tunduk hanya pada hak siar televisi. Hak siar televisi maunya begitu, mereka turuti, maunya begini, mereka turuti. Ini bagaimana, kenapa pengurus sepak bola tertinggi di Indonesia malah tunduk pada hak siar televisi? Oh ya lupa, urusan politik dan bisnis dalam sepak bola kita tak bisa dilepaskan ya, ah sudahlah …

Entah apa yang akan terjadi jika leluhur kita melihat kondisi Indonesia sekarang ini, negara yang selalu mereka impikan kemerdekaannya. Bhinneka Tunggal Ika sudah tertera abadi dalam simbol negara kita, tetap saja anehnya ada kelompok-kelompok radikal yang ingin mencederai kalimat pemersatu itu.

Di tubuh saya mengalir darah Jawa dan Sunda. Teman saya memiliki darah Bugis dan Betawi. Teman saya yang lain memiliki darah Papua dan Batak, yang lainnya lagi Manado dan Madura, yang lainnya lagi Bali dan Minang. Apa yang membuat kita bisa bersatu selama ini? Padahal kita berasal dari budaya-budaya yang berbeda. Berbeda rasanya ketika saya bilang saya orang Jawa atau saya orang Sunda, dengan mengatakan saya orang Indonesia, saya orang Indonesia memiliki kebanggaan tersendiri.

Bagaimana harus memperbaiki Indonesia? Katanya sih lewat parlemen, dan ke parlemen itu harus lewat partai. Partai? Coba lihat saja, apakah ada partai yang benar-benar mendidik kader secara betul, kemudian mereka calonkan untuk parlemen? Tidak! Kebanyakan partai mencari jalan instan, menarik orang populer kemudian dicalonkan, dan pendidikan politik dan partainya nol besar! Mungkin orang-orang ini lahir dari generasi mie instan.

Sebuah alibi sebenarnya doa di atas itu. Sebah pembenaran. Kenapa? Menurut saya itu cara terbaik saat ini untuk saya menghormati dan menghargai jasa-jasa para pahlawan. Untuk apa saya tinggal di Indonesia jika cita-cita leluhur saya tidak bisa diteruskan? Untuk apa tinggal di Indonesia jika tidak bisa membuat perubahan sedikit pun pada Indonesia? Untuk apa menjadi Indonesian jika tidak bisa menolong dan maju bersama orang-orang Indonesia tertindas yang lainnya? Untuk apa menjadi Indonesia jika tidak ‘Indonesia’? Lebih baik keluar dari negeri ini jika tidak bisa melakukan apa-apa.

Sebagai bagian akhir, kemarin malam seorang penyanyi diinterview di sebuah acara talkshow. Menurutnya, orang Indonesia harus bersatu bersama-sama kemudian Go Internasional bersama-sama, membawa nama Indonesia bersama. Apakah harus seperti itu? Industri musik misal, Korea mendunia karena musik mereka memilik karakter, memiliki ciri khas Korea. Orang mendengar lagu dan bahasa sebuah lagu Korea, sudah pasti akan tahu itu dari Korea. Sekarang musisi Indonesia katanya mau Go Internasional, tetapi melalui musik pop, rock, hip-hop, apakah itu benar-benar lahir dari Indonesia? Mana karakter khas Indonesianya? Hanya topi dan baju bertuliskan ‘Love Indonesia’, oh my God … Apa musik asli Indonesia? Dangdut dan musik-musik daerah, apakah kebanyakan kita menyukai musik seperti itu? Gengsi dan malu! Tidak enak juga katanya!

69 tahun bukan waktu yang singkat, sudah semestinya Indonesia menjadi ‘Indonesia’, manusianya semestinya harus sudah menjadi ‘manusia’, dan pancasilanya bukan sekedar menjadi gambar di kelas dan dibaca hanya pas hari Senin saja, tetapi meresapi hati dan ada di kehidupan bernegara sehari-hari warga negaranya, semoga …

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun