Peristiwa bencana alam seperti Tsunami Aceh atau musibah Air Asia yang mendapat perhatian luas karena diliput sekaligus diblow up oleh media nasional dan internasional menjadi "panggung pencitraan" yang ideal bagi pejabat, birokrat serta aparat yang terkait dengan musibah itu. Bagi mereka yang gemar "cari muka" moment untuk diekspose seperti itu adalah segalanya. Lebih ironi lagi, sadar karena diekspose oleh media internasional, semua aparat dan stake holder yang terkait dengan urusan evakuasi Air Asia tampak bekerja luar biasa istimewanya demi menggapai pencitraan diri sebagai bangsa yang hebat. Tapi begitu tidak diekspose media, banyak urusan-urusan besar diabaikan atau tidak tuntas dibereskan.
TNI adalah pengayom rakyat. TNI adalah garda depan penjaga kedaulatan negara. Bila rakyat dan TNI sehati sejiwa dalam ikatan patriotisme yang militan, maka negara menjadi kuat dan bermartabat. Akan tetapi sebaliknya, bila TNI dan rakyat tidak sejiwa, maka negara sudah pasti rapuh. Menyatunya TNI dan rakyat dapat dianalogikan seperti bayangan dengan bendanya, atau seperti menyatunya ombak dan samudera.
Tapi sayang seribu sayang, kini kondisi negara sedang rapuh. Rapuh karena digerogoti aneka kasus korupsi dari sabang hingga merauke. Rapuh karena indonesia pasar potensial bagi lapak narkoba internasional. Sementara demokrasi yang ditopang oleh sistem oligarki selusin parpol, tak memberi harapan bagi kemajuan bangsa. Embrio separatisme merebak sebagai dampak dari keresahan sosial yang akut. Lihat kondisi faktual di bumi Papua yang sejak lama resah dirongrong oleh kekerasan berdarah. Apa pun alasannya, kini masalah Papua harus menjadi prioritas utama bagi rezim di Jakarta. Tak bisa solusi penyelesainnya bersifat tambal sulam, melainkan harus menyeluruh, komprehensif dan revolusioner.
Saudaraku yang sebangsa dan setanah air, bila kita tidak memahami situasi sesungguhnya di Papua, pastilah akan bingung dan punya interprestasi yang salah atas berbagai insiden seperti penangkapan, penculikan atau bahkan penembakan dalam kasus apa pun. dalam 2 (dua) dekade terakhir ini sesungguhnya situasi Papua dapat digolongkan tidak kondusif, untuk tidak menyebutnya sebagai "genting" atau dalam suasana darurat keamanan. Ini dampak dari kebijakan politik nasional di Jakarta yg tidak memiliki visi dan solusi ideologis dalam menjabarkan aspirasi yg menggumpal dalam diri "Orang Asli Papua" (OAP). Rezim Jakarta jangan hanya asyik dengan dirinya sendiri. Kebijakan pertambangan freeport telah melukai hati rakyat Papua, apa pun alasan atau argumentasi rasional bisnisnya. persoalan mendesak di republik ini mencakup antara lain:
- Eksploitasi kekayaan alam yang tidak terkontrol.
- Kesenjangan kaya miskin kian lebar.
- Utang negara yang akumulasinya menggunung tujuh turunan.
- Mentaliteit birokrat, elit parpol serta aparatus negara yang dibelit korupsi, kolusi, dan nepotisme.
- Ketidakadilan sosial.
- Penegakan hukum yang kacau dan transaksional, terutama masalah kasus kekerasan yang terkait dengan aspek ham di masa lalu.
- Demokrasi oligarki selusin parpol yang tidak efektif dan efisien sekaligus menumbuhkan budaya politik dinasti.
- Pengangguran generasi usia produktif yang dari tahun ke tahun kian meningkat.
- Sistem pengupahan buruh pabrik.
- Tidak adanya kekuatan politik nasional untuk mewujudkan cita-cita berdikari di segala bidang.
Semua masalah fundamental di atas, kini terakumulasi menjadi keresahan sosial yang meluas dan intens sehingga kondusif bagi berbiaknya virus embrio separatisme di sejumlah daerah. Dan kini aneka masalah bangsa yang kompleks krusial itu menjadi tak mudah lagi. Apa pun solusi yang ditawarkan oleh rezim Jakarta, rakyat Papua hampir tak mempercayainya lagi. Sungguh parah keadaannya! siapa pun rezimnya, rakyat Papua tampak kukuh dengan sikap apatisnya, bahkan akhir-akhir kian sinis saja.
Satu-satunya solusi yg dapat dicapai saat ini adalah rezim di Jakarta harus bersikap terbuka dan kesatria untuk selekasnya membuka semacam forum dialog dari hati ke hati merundingkan semua masalah di Papua berikut semua kasus kekerasan di masa lalu. Artinya, rezim jakarta harus siap menelan pil pahit sepahit-pahitnya. Siapkah rezim di Jakarta mengambil langkah semacam itu? Atau kita biarkan saja ketegangan dan kekerasan terus-menerus berlanjut sampai akhirnya dunia internasional “memanfaatkan” celah untuk campur tangan bahkan intervensi politik untuk memberi tekanan pada rezim di Jakarta, agar pada akhirnya nanti dicapai solusi amat getir, yakni memberi alternatif referendum dengan opsi bercerai dari NKRI? Dan sungguh ironi, sesungguhnya saat ini kita sedang berada pada fase yang amat getir itu. Oh, indonesiaku yang tercabik kedaulatannya.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H