Mohon tunggu...
Iwan Syahril
Iwan Syahril Mohon Tunggu... Dosen, Peneliti -

Iwan Syahril adalah co-founder dan peneliti pada Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan dan dosen Fakultas Pendidikan, Sampoerna University. Ia memiliki 2 gelar Doktor (Educational Policy, & Curriculum, Instruction, and Teacher Education) dari Michigan State University; dan 2 gelar Master (Curriculum and Teaching, & Secondary Education) dari Columbia University. Ia memiliki pengalaman bekerja selama lebih dari 21 tahun di bidang pendidikan di Amerika Serikat, Indonesia, dan Kanada, termasuk mengajar di program pascasarjana keguruan di Michigan State University.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Proklamasi dan Transformasi Pendidikan Indonesia Abad ke-21

18 Agustus 2013   09:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:10 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika 17 Agustus 1945 merupakan proklamasi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka 20 Mei 1908 dapat dikatakan sebagai “proklamasi” kesadaran untuk berke-Indonesiaan. Para pemuda pelajar STOVIA menegaskan tujuan organisasi Budi Utomo untuk memulai gerakan nasional umum, meninggalkan zaman kolonial menuju zaman nasional. Hubungan batin yang dirintis pada zaman kebesaran Sriwijaya dan Majapahit dan perasaan senasib sependeritaan oleh penjajahan bangsa asing selama ratusan tahun menimbulkan rasa persatuan para pendiri Budi Utomo.

Singkatnya Budi Utomo membangunkan bangsa Indonesia. Setelah Budi Utomo secara beruntun lahir organisasi-organisasi pergerakan kemerdekaan nasional seperti Sarekat Islam, Indische Partij, dan Partai Nasional Indonesia. Aktifis pergerakan nasional kita saat itu banyak datang dari golongan pelajar dan pemuda. Mereka menjadi tonggak dan roh pergerakan kemerdekaan bangsa dengan visi modern dan semangat menyala-nyala. Warna pergerakan lama yang bersifat kedaerahan ditinggalkan dan digantikan dengan warna nasionalistis dan revolusioner. Pendidikan tinggi yang dikecap pelajar pribumi membuka mata, telinga, dan hati mereka. Pendidikan tinggi tersebut memberi keterampilan memaknai informasi dan bermuara pada gerakan perjuangan yang terorganisir, dengan visi kebangsaan. Pada akhirnya gerakan pemuda dan pelajar Indonesia itu mengantarkan bangsa kita ke pintu gerbang kemerdekaan Negara Republik Indonesia 17 Agustus 1945.

Dapat disimpulkan karena pendidikanlah bangsa Indonesia bangun, bangkit dari keterkukungan visi dunia yang sempit. Pendidikan menjadi kunci terciptanya kesadaran perlunya persatuan dalam mencapai cita-cita bersama sebuah bangsa. Sukarno, Hatta, Syahrir, merupakan sebagian kecil dari bangsa Indonesia yang merasakan pendidikan tinggi pada zaman itu. Pendidikan menginspirasi mereka menjadi manusia tangguh, cerdas dan tangkas dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, dan mereka berhasil!

5 Prinsip Transformasi Pendidikan Indonesia Abad 21

Apakah pendidikan yang dikecap oleh pelajar kita saat ini dapat membekali mereka dalam menghadapi perubahan zaman abad ke-21 sebagaimana generasi Budi Utomo, generasi 1928, dan generasi 1945? Dalam menjawab tantangan abad ke-21 ini sistem pendidikan perlu bertransformasi, bukan sekedar reformasi. Reformasi hanyalah bentuk lebih baik dari apa yang selama ini kita telah lakukan; sedangkan transformasi berarti menjadi sebuah bentuk yang berbeda dari apa yang sudah ada selama ini.

Menurut saya ada lima prinsip utama dalam transformasi pendidikan Indonesia. Pertama, pendidikan harus memerdekakan. Ia tidak boleh menjadi penjara kreatifitas dan imajinasi siswa. Ia tak boleh mengerdilkan dan menindas peserta didiknya yang kejeniusannya tidak bisa dibuktikan lewat ujian tertulis semata. Bentuk tes standardisasi seperti ujian nasional tidak boleh dijadikan dewa dalam penentuan kualitas dan hasil belajar siswa. Perlu dicari bentuk asesmen komprehensif yang dapat mengakomodasi dan mengapresiasi berbagai macam bentuk kecerdasan, daya imajinasi dan kreatifitas. Inovasi untuk kemajuan bangsa takkan mungkin lahir dari pendidikan yang memenjarakan imajinasi dan kreatifitas.

Kedua, pendidikan tidak boleh membungkam rasa ingin tahu siswa yang tak tersentuh oleh buku teks dan soal ujian. Proses belajar mengajar seharusnya tidak berpusat pada guru, sekolah, kurikulum, orang tua, apalagi penguasa, tapi menginspirasi siswa untuk memberi jutaan pertanyaan tentang hal-hal yang nyata di sekitar mereka. Inspirasi yang menggerakkan mereka untuk mengeksplorasi berbagai kemungkinan jawaban dari sumber-sumber pembelajaran yang ada. Inilah yang sebenarnya dimaksud dengan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered learning). Pembelajaran pun akan menjadi hidup karena ia kontekstual dan relevan.

Ketiga, pendidikan memberi contoh konsisten implementasi tutur, tindak dan perilaku norma dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Ia tidak boleh memodelkan cara berbuat curang, termasuk kolusi, korupsi, maupun manipulasi karena alasan apa pun. Guru dan segenap elemen di sekolah harus menjadi contoh dalam bertindak dan berperilaku yang baik. Ing ngarso sung tulodo. Demikian pesan dari Bapak Pendidikan kita, Ki Hadjar Dewantara. Keteladanan adalah kunci pembentukan karakter, tak perlu penambahan porsi mata pelajaran karakter atau pendidikan moral. Tanpa karakter dan moral, pendidikan tak punya fondasi, tak punya roh dan jiwa, sehingga ia hanya hampa tanpa makna yang sesungguhnya.

Keempat, pendidikan harus menjadi bagian pembangunan bangsa yang ber-Bhineka Tunggal Ika. Ia tidak boleh boleh menyemai bibit curiga, benci, dendam, dan permusuhan, baik karena hal suku, ras, kelas, harta, agama, antar golongan, dan antar bangsa. Idealnya dalam satu ruang kelas di Indonesia terlihat keanekaragaman agama, suku dan kelas sosial. Misalnya ada orang Jawa, Batak, Maluku, Cina, dan Minahasa. Ada orang Islam, Kristen, Hindu dan Budha. Ada anak tukang becak, petani, direktur dan pengusaha. Disanalah terjadi pembelajaran multikulturalisme yang efektif, melalui interaksi bersama di bangku sekolah sejak dini. Tanpa interaksi dan komunikasi yang baik mustahil tercipta saling pengertian dan saling memiliki sebagai saudara sebangsa dan setanah air. Mustahil terwujud jiwa Bhinneka Tunggal Ika. Pendidikan harus memerdekakan kita dari sekat-sekat parokial dan primordial.

Terakhir, yang paling penting dari semua, pendidikan harus menciptakan budaya belajar yang dicontohkan semua guru. Guru pembelajar menghasilkan pengajaran yang berkualitas. Guru pembelajar selalu mencari pengetahuan terkini dan terus mencari berbagai cara mengajar kreatif dan efektif. Guru pembelajar menginspirasi siswa dan masyarakat untuk gandrung belajar. Karena itu guru pembelajar akan meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar siswa. Dan pada akhirnya jika budaya belajar menjadi ciri khas setiap sekolah kita maka bangsa kita akan menjadi bangsa pembelajar. Dan jika kita menjadi bangsa pembelajar maka kita memiliki modal yang sangat kuat dalam memenangi persaingan global abad ke-21.

Penutup

Transformasi pendidikan secara fundamental dan sungguh-sungguh adalah mutlak untuk membangkitkan bangsa Indonesia saat ini sebagaimana bangkitnya generasi Budi Utomo. Karena pendidikanlah bangsa Indonesia bangun dari keterkukungan visi dunia yang sempit. Karena pendidikanlah tercipta kesadaran persatuan dalam mencapai cita-cita bersama sebagai sebuah bangsa. Dan hanya dengan pendidikanlah kita dapat menjadi bangsa yang besar, produktif, inovatif, dan bermartabat. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang memerdekakan, mencerdaskan, memberi inspirasi dan memberdayakan. Pendidikan yang tut wuri handayani, ing madyo mangun karso, ing ngarso sung tulodo – yang memotivasi, memberi semangat dan teladan yang baik. Pendidikan dimana belajar menjadi norma utamanya. Pendidikan yang menjadikan kita a learning country, a learning society, bangsa yang gemar belajar, yang menghargai pendidikan yang baik. Pendidikan yang baik akan menjadi modal utama kita menjadi manusia tangguh, cerdas dan tangkas seperti Wahidin Sudirohusodo, Sukarno, Hatta dan Syahrir, dan kita harus berhasil karena kita tidak punya pilihan lain.

*Tulisan ini merupakan bagian dari artikel yang lebih panjang lagi di buku "Peluang dan Tantangan Pendidikan Abad 21" terbitan STKIP Kebangkitan Nasional-Sampoerna School of Education, 2011.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun