Dalam konteks pemahaman ilmu pendidikan yang telah jauh berkembang saat ini, menjadi guru berkualitas sangat tidak mudah. Singkatnya kita sudah bergeser dari pemahaman konsepsi pembelajaran dan pengajaran yang mekanik (teacher-centered) ke konsepsi pembelajaran dan pengajaran yang dinamis dan kompleks (student-centered). Sayangnya, apa yang dimaksud student-centered dan bagaimana konsep tersebut dijalankan dalam keseharian pengajaran dan pembelajaran masih sering menjadi kendala. Seringkali guru-guru merasa bahwa, ya, saya sudah melaksanakan student-centered teaching and learning, tapi pada kenyataannya hal tsb. masih belum terjadi. Seringkali yang menjadi rujukan cara pengajaran yang baik didapat dari pengalaman-pengalaman ketika menjadi siswa, atau dari narasi budaya turun temurun, dan bukannya dari riset dan ilmu pendidikan yang ada.
Problem utama dimana-mana, namun seringkali tidak terasa, adalah “mengajar seringkali dianggap sesuatu yang mudah dipelajari dan dipraktekkan oleh siapa saja.” Asumsi dasarnya: jika seseorang memiliki pengetahuan dan pengalaman lebih daripada yang lain, maka ia dapat mengajarkan pengetahuan dan pengalamannya tsb. Hal ini bersumber dari 2 hal utama: narasi kebudayaan dan pengalaman menjadi siswa.
Narasi kebudayaan.
Dimana pun di dunia ini pendidikan dan pengajaran merupakan praktek kebudayaan dari dulu kala sebelum adanya sekolah formal seperti saat ini. Untuk menjadi orang yang mendidik dan mengajar, tak perlu harus masuk sekolah guru atau universitas jurusan pendidikan. Misalnya orang tua mendidik dan mengasuh anak, atau bagaimana tetua dalam sebuah suku menurunkan ilmunya pada generasi berikutnya. Cukup menguasai apa yang hendak diajarkan, dan kemampuan mengajar yang baik akan didapat dengan sendirinya melalui pengalaman. Semakin sering dilakukan, maka praktik pengajaran akan semakin baik dengan sendirinya. Dengan asumsi ini, siapa saja boleh dan bisa menjadi guru, asalkan ia memiliki pengetahuan dan pengalaman yang lebih dari yang lainnya. Tak perlu sekolah guru atau masuk jurusan pendidikan. Calon guru cukup diberi pelatihan "seperlunya" saja. Narasi kebudayaan ini seringkali berorientasi pada pola pengajaran dan pembelajaran yang mekanik (teacher-centered).
Pengalaman menjadi siswa.
Jika seseorang menamatkan SMA, diperkirakan ia sudah menghabiskan lebih dari 10,000 jam di dalam kelas. Selama kurun waktu tsb, ia akan merasa dekat dan akrab dengan bagaimana guru beroperasi di dalam kelas. Ia melakukan observasi informal yang berkelanjutan. Kedekatan dan keakraban ini sering menghasilkan sebuah pemahaman semu (dan seringkali keliru) tentang pengajaran dan pembelajaran. Kenapa demikian?
Pertama, penilaian tentang pengajaran dan pembelajaran dilakukan dengan perasaan suka tidak suka, senang tidak senang, terhadap guru, karena siswa tersebut menjadi pihak yang terkena dampak langsung dari apa-apa yang guru lakukan di dalam kelas.
Kedua, penilaian tentang pengajaran dan pembelajaran tidak dilakukan dengan ilmu pendidikan dan pengajaran yang jelas. Bisa dibayangkan jika seseorang memiliki guru yang sangat berpengaruh ketika ia kelas 3 SD, apa-apa yang bisa dipahami oleh anak kelas 3 SD ttg ilmu pedagogi, kurikulum, evaluasi pendidikan, konteks kebijakan pendidikan, dan ilmu perkembangan anak, dsb.?
Ketiga, apa-apa yang terlihat adalah apa-apa yang terjadi di dalam kelas selama pembelajaran berlangsung. Siswa tidak melihat apa-apa yang terjadi ketika guru mempersiapkan pelajaran atau mengevaluasi pembelajaran yang telah terjadi. Lebih jauh lagi siswa tidak bisa mengetahui apa-apa yang dipikirkan guru (teacher thinking), apa-apa yang diniatkan oleh guru (teacher intention), dan segudang hal yang terjadi didalam diri guru pada saat mengajar. Dalam mengajar seorang guru bisa jadi mengambil puluhan bahkan ratusan keputusan, yang tadinya tidak masuk dalam rancangan pembelajaran. Proses pengambilan keputusan ini sangat kompleks, walaupun dilakukan secara mendadak dan dalam waktu singkat.
Mengatasi Masalah Narasi Kebudayaan dan Pengalaman Menjadi Siswa
Kedua hal ini, narasi kebudayaan dan pengalaman menjadi siswa, sangat berpengaruh dalam konsepsi pengajaran dan pembelajaran calon guru dan guru-guru baru. Dan jika dua hal ini tidak dikritisi pada saat awal pendidikan guru, maka konsepsi ini pun akan terus menjadi landasan utama bagi guru-guru tersebut ketika selama karir mengajarnya. Artinya guru-guru yang sudah berpengalaman pun sebenarnya masih beroperasi dengan cara pandang yang dipengaruhi kedua hal yang sangat problematik tersebut.
Perubahan konsepsi pengajaran dan pembelajaran tidak mudah dan dibutuhkan kemauan dan kemampuan untuk belajar secara berkelanjutan. Dan jikapun perubahan konsepsi sudah terjadi, masih ada permasalahan lain pula: bagaimana menjalankan konsepsi tsb. Konsepsi student-centered learning sering menjadi wacana dan jargon yang populer, tapi pelaksanaannya sebenarnya membingungkan. Kenapa? Karena konsepsi yang baru ini membutuhkan cara beroperasi yang baru, cara mengajar yang tidak pernah dialami sebelumnya. Maka konsepsi baru membutuhkan kemampuan berimajinasi, bereksperimentasi, dan berefleksi, serta kemauan teguh untuk terus melakukan ketiga hal tsb.
Kita harus mengkritisi pemahaman kita tentang konsepsi kita mengenai guru berkualitas. Apakah kita berpijak pada narasi kebudayaan, pengalaman bersekolah, atau pada ilmu pendidikan? Perlu juga dicatat bahwa ilmu pendidikan guru (teacher education) sebenarnya masih sangat baru dan masih terus berkembang dengan sangat pesat. Sekolah-sekolah keguruan kita (LPTK) dan pelaksana pelatihan-pelatihan guru perlu untuk terus berbenah diri dan bertransformasi supaya bisa menjalankan tugas dengan jauh lebih baik lagi. Menjadi guru berkualitas sangat kompleks sekali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H