[caption id="attachment_374572" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi-Polis Asuransi/Kompasiana /Shutterstock (Sumber Kompasiana.com)"][/caption]
Mengenal kata Asuransi tentunya bukan hal baru di era sekarang ini. Seperti jamur di musim hujan yang tumbuh dan menyebar dimana-mana. Bisnis asuransi bukanlah jasa keuangan baru di negeri ini. Ditunjang oleh potensi pasar dalam negeri yang begitu besar, bisnis jasa asuransi di Indonesia terbilang "seksi".
Namun disisi lain banyaknya  pelaku usaha dibidang asuransi tidak serta merta berbanding lurus dengan animo masyarakat terhadap jasa keuangan masyarakat tersebut.
Saya seorang guru di salah satu SMP Negeri di kabupaten Sukabumi, mencoba berbagi pengalaman dan cerita tentang  beratnya berasuransi di mata seorang guru seperti saya ini:
1) Alasan kultur masyarakat lebih memilih menyimpan harta yang dimiliki serta presepsi bahwa asuransi bukanlah investasi yang mudah dipetik hasilnya.
2) Ada fenomena di masyarakat bahwa asuransi akan terasa manfaatnya tatkala ada kejadian.
3) Masih minimnya pendapatan yang diterima masyarakat (saya) khususnya menengah kebawah, sehingga mereka lebih fokus ke pemenuhan kebutuhan pokok dan menabung.
4) Asuransi merupakan hal yang membebani, seperti : kesulitan melakukan klaim, premi yang tidak terjangkau, proses pembelian yang rumit, dan ketidaknyamanan saat di hubungi agen asuransi.
5) Pengembalian premi yang ribet dan tak jelas serta bisa merugikan  peserta.
6) Layanan asuransi yang tak profesional serta keberadaan jasa asuransi yang meragukan.
Itulah 6 hal yang saya rasakan sehingga masih terasa berat berasuransi jika tidak terpaksa sekali untuk ikut asuransi. Semoga kedepan ada salah satu perusahaan asuransi yang bisa mewadahi dan memiliki strategi berbeda dengan jasa asuransi yang ada saat ini. Misalnya jasa asuransi yang memasarkan produknya secara online dan transparan, sehingga animo dan presepsi masyarakat bahwa berasuransi itu tidak mahal dan tidak membuang uang bisa terjawab.