Mohon tunggu...
Iwan Sukamto
Iwan Sukamto Mohon Tunggu... Jurnalis - Writer Enthusiast, Photo, Politics, Poems, Story, and Life.

You and everyone you know are going to be dead soon. And in the short amount of time between here and there, you have a limited amount of fucks to give. Very few, in fact. And if you go around giving a fuck about everything and everyone without conscious thought or choice—well, then you’re going to get fucked. Mark Manson, The Subtle Art of Not Giving a F*ck: A Counterintuitive Approach to Living a Good Life

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Untuk Perempuan dalam Tepian Rona

23 Mei 2022   08:53 Diperbarui: 23 Mei 2022   08:54 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagaimana hidup untuk merasakan bahwa perjuangan yang sedang dan akan dilakukan ini begitu bermakna?

Tidak ada yang tahu titik keyakinan itu sampai ketika kita mengalaminya sendiri dan itu kurasakan saat bertemu dengannya.

"Hei kamu bisa pegangin payungnya?," 

Suasana hujan yang awalnya rintik berubah menjadi deras sekali dan dia yang sedang merekam aksi itu berbicara padaku. Kita sedang menyaksikan aksi kamisan memperingati 24 tahun Tragedi Trisakti dan Kerusuhan 13-15 Mei 1998. 

Kita pun terlibat dalam obrolan kecil, dia menceritakan tentang blognya https://revolusiberdikari.blogspot.com/ Revolusi berdikari yang artinya adalah revolusi yang berdiri diatas kaki sendiri. Aku menyerngitkan dahi karena disaat orang lain menulis blog dengan namanya sendiri, ini malah memakai kata revolusi. Revolusi menurut KBBI sendiri adalah perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasan (seperti dengan perlawanan bersenjata).

Penampilannya juga begitu mungil dan  bersahaja, rambut hitam sebahu, kaos hitam, celana jeans kumel, dan name tag Metro Tv melingkar di lehernya.

"Kamu rutin ikut ini?," Tanyanya padaku

"Pertama kali, pertama kali juga Mba?," jawabku

Di Jakarta iya kalau di Surabaya pernah.. Tambahnya padaku. 

Gerakan kamisan sendiri adalah aksi damai yang diadakan sejak 18 Januari 2007 oleh para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia menuntut negara untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat di Indonesia seperti Tragedi Semanggi, Trisakti, Tragedi 13-15 Mei 1998, Peristiwa Tanjung Priok, Peristiwa Talangsari 1989 dll. Gerakan kamisan ini sudah menyebar ke banyak kota di Indonesia, mulai dari Bandung, Aceh, Malang, termasuk Surabaya.

"Tapi Mbak ini maaf, jurnalis atau?," aku pun bertanya singkat

"Saya mahasiswa, ayah saya yang jurnalis," 

"Soalnya nggak mungkin mas kalau bukan wartawan bisa masuk ke area ini,"

Aku pun setuju karena waktu itu area monas dan istana dijaga dengan ketat, imbas demo buruh dan mahasiswa yang sedang berlangsung.

Sampai pada menjelang akhir orasi, aku mengajukan pertanyaan singkat,

"Bukannya hidup itu mesti terus berjalan Mba? kenapa kita mesti memperjuangkan ini,"

Dia diam dan hanya tersenyum. Senyuman yang meningalkan banyak tanya antara harapan atau nyinyiran.

Aku pun tidak menyangka suatu pertemuan yang random itu bisa membawa perspektif dan keyakinan yang berbeda tentang hidup, terutama tentang politik, hukum, keadilan dan penegakan HAM di negeri ini. 

Acara singkat itu berakhir, tetapi petualangan ini pun belum berakhir, hujan rintik kala itu masih menyelimuti, dia pun melanjutkan kegiatannya untuk mewawancarai Mba Vebrina salah satu relawan aksi kamisan yang sangat setia menemani aksi dari tahun 2016. Pertanyaan yang diajukan cukup kritis dan aku menjadi pendengar yang baik, terutama dalam merasakan bahwa perjuangan ini sungguh sangat berat, tidak berkesudahan tetapi mereka yang berjuang terutama Ibu Maria Sumarsih (orang tua korban) tidak pernah kehilangan harapan untuk terus melakukan aksi ini.

Ketika wawancara itu berakhir akhirnya kami saling menyapa satu sama lain dan bercerita tentang pandangan politik, hukum dan perjuangan hidup yang masing masing dilalui. Dia adalah seorang mahasiswi jurusan Ilmu sosial dan ilmu politik Universitas Unair Surabaya yang datang ke Jakarta dengan tujuan utama meliput aksi Kamisan, cita cita politik menjadi jalan yang dia pilih, disaat wanita lain memilih untuk lebih fashionable atau trendy tetapi dia datang ke tempat ini untuk merasakan atmosphere dan meliput suatu fenomena politik.

Dalam suasana senja menjelang malam yang rintik itu, aku menemani nya berjalan dari Monas menuju stasiun Gambir, berjalan kaki sepanjang jalan pulang itu tidak terasa begitu melelahkan karena aku kembali merasakan gairah yang sama dengannya. 

Mungkin kita punya begitu banyak kesamaan, baik dalam perjuangan dan pandangan hidup, sama sama ingin menjadi aktivis, sama sama tidak punya banyak teman, suka menulis di blog, suka kritis tentang segala sesuatu termasuk politik, tetapi disaat itulah ku menyadari, bahwa semua ini hanya sebatas utopia yang tiada habisnya karena kita mesti berjalan di hidup yang berbeda. Sungguh dia sangat idealis, semua hal tentang politik, hukum, pemerintahan terasa sangat ambisius tetapi realistis. Dia realistis dan aku pragmatis. 

Ketika sampai di halte samping halte busway, kita pun saling menyudahi pertemuan yang singkat ini. Terima kasih untuk idealisme yang tanpa batas itu, semoga terwujud terbaik mendekati yang kita kira. Semoga cita citamu untuk menjadi aktivis kontras itu tersampaikan, karena itu tak akan mudah seperti hal nya kita menyampaikan kata. 

Hati hati denganmu di jalan... Perempuan dalam Tepian Rona.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun