Jepang adalah negara yang semua warganya bebas minum minuman beralkohol, tetapi dengan syarat telah dewasa secara usia biologis. Usia dewasa orang Jepang berbeda dengan orang Indonesia. Mereka baru dianggap dewasa bila sudah berusia 20 tahun.
Kegemaran minum minuman beralkohol ini sangat terasa apabila sudah mendekati akhir tahun. Ada sebuah kebiasaan yang dilakukan oleh para pekerja maupun mahasiswa di akhir tahun, yaitu "acara melupakan tahun" (bonenkai). Kebiasaan ini untuk melupakan segala kesusahan, kekurangan, kegagalan, dan ketidakbaikan pada tahun ini, dan untuk menyambut tahun depan dengan semangat baru. Dilihat dari tujuannya sih, bagus juga. Akan tetapi pastinya di dalam acara tersebut ada "sake" atau minuman beralkohol dan pastinya lagi mereka akan minum banyak sampai mabuk.
Satu orang Jepang bisa melakukan lebih dari satu acara bonenkai. Bisa dengan jawatan kerjanya, bisa dengan teman-teman sehobi, bisa dengan teman-teman sekursus (pekerja Jepang banyak yang mengikuti kursus bahasa asing), dengan kolega dari perusahaan lain, dll. Saya pernah bertanya kepada murid bahasa Indonesia yang saya ajar mengenai jumlah bonenkai yang dia ikuti. Dia bilang dia sudah memiliki jadwal bonenkai sebanyak 6 kali. Wah banyak juga ya!
Sebagai orang asing yang tinggal di Jepang, terutama yang tidak minum minuman beralkohol, tentu saja datangnya acara ini sangat mengesalkan. Karena acara ini hukumnya seperti wajib diikuti. Kalau tidak diikuti, berarti dia melepaskan diri dari kelompoknya dan konsekuensinya adalah dia akan menjadi "single fighter" baik di di dalam lingkungan kerjanya maupun di tempat lain. Jadi biasanya seorang muslim yang bekerja di Jepang menyiasatinya dengan tetap mengikuti acara tersebut tetapi tidak minum minuman beralkohol.
Yang menjadi masalah: acara tersebut membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dalam sekali bonenkai, bisa menghabiskan 5~7 ribu yen. Bayangkan bila harus mengikuti 5 kali bonenkai, bisa menghabiskan 25ribu~3 ribu yen. Sebuah angka yang besar, terutama bagi yang tidak minum "sake", karena harga "sake" lebih mahal dari minuman ringan biasa. Oh ya, sistem pembayaran acara bonenkai tidaklah sendiri-sendiri (warikan), melainkan kolektif. Total biaya ditanggung oleh seluruh peserta. Kesal kan, jika tidak minum dan makan banyak tetapi harus ikut menanggung biaya orang lain? Tetapi memang begitulah kebiasaan yang sudah berakar kuat di masyarakat Jepang. Apa boleh buat!
Terkadang acara bonenkai ini tidak hanya dilakukan sekali terus selesai dan pulang. Terkadang setelah keluar dari salah satu kedai minum, mereka mencari kedai minum lain untuk melanjutkan kegiatannya. Dalam semalam bisa 3 kedai minum yang dikunjungi. Alhasil, mereka pulang ke rumah dalam keadaan mabuk berat. Ada yang terkapar di stasiun, ada yang muntah-muntah, ada yang berbicara dengan suara keras yang mengganggu, suatu aksi yang sangat berbeda dari imej orang Jepang yang terkenal pendiam dan tertib di depan umum. Dan yang pasti udara di dalam kereta di malam hari beraroma kuat alkohol.
Satu lagi yang saya baru sadar, menjadi salah satu penanda musim minum ini. Antrean di toilet menjadi lebih panjang dari biasanya. Antrean bisa menjalar sampai ke luar toilet. Tahu kan rasanya jika ingin pipis, tetapi antreannya panjang? Kesal, kan? Mungkin karena mereka banyak minum jadi pipisnya pun menjadi banyak dan lama. Atau karena mabuk, mereka gak sadar kalau pipisnya sudah nggak keluar tetapi mereka tetap berdiri di depan toilet. Ada-ada saja orang Jepang ini.
Iwan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H