Mohon tunggu...
Iwan Setiawan
Iwan Setiawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Suka Hal Baru

Salah satu cara untuk survive adalah dengan belajar hal baru terus menerus

Selanjutnya

Tutup

Money

Mengapa Sulit Sekali Mencari SDM Berkualitas

16 Juni 2011   05:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:28 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Setelah ikut mengelola perusahaan lebih dari 7 tahun, saya menyimpulkan bahwa hal yang paling sulit dalam manajemen perusahaan adalah SDM. Sewaktu kami membutuhkan tenaga kerja baru, selalu saja diliputi kebimbangan dalam memilih para pelamar. Mengapa? Setelah dilakukan seluruh rangkaian test, tidak satupun yang memenuhi seluruh persyaratan. Ada saja yang punya kelebihan dibidang teknis, namun bidang lain masih sangat kurang. Banyak orang yang pandai dibidang teknis tapi sangat payah dalam komunikasi. Padahal komunikasi bagian yang sangat penting dalam menjalankan tugas-tugas teknisnya. Bagaimana mungkin seseorang yang harus selalu berhubungan dengan rekan kerja, client dan atasanya tidak mampu mengomunikasikan kendala-kendala dan solusi di lapangan dengan baik? Ada juga pelamar yang komunikasinya sangat baik, tapi pekerjaan teknisnya kacau. Padahal tidak semua pekerjaan bisa diselesaikan hanya dengan komunikasi, tapi secara teknis juga harus memadai. Belum lagi, perusahaan kami juga membutuhkan beberapa kemampuan teknis sekaligus.Sepertinya belum ada satu universitaspun yang menyediakan jurusan ini. Kami pengembang software akuntansi perdagangan. Kebutuhan untuk teknisi adalah orang yang mengerti database, troubleshooting hardware, jaringan dan mengerti akuntansi. Nah… Mana ada jurusan teknisi komputer yang juga menguasai akuntansi? Mimpi kali ya…. Kenapa tidak rekrut orang teknis dan orang akuntansi sendiri-sendiri saja? Alasan pertama yang jelas clientinginya simple. Siapapun orang yang mewakili perusahaan melakukan kunjungan ke lokasi, harus bisa menyelesaikan permasalahanya secara tuntas. Client tidak mau tahu apa jurusan saat kuliahnya, yang jelas maunya one stop solution. Alasan kedua dari sisi cost juga tidak efektif. Perusahaan harus menggaji 2 orang sekaligus dalam menangani satu client. Apalagi cost ini ujung-ujungnya pasti akan dibebankan kepada client. Dan bisa ditebak, client pasti akan merasa keberatan. Okelah kalau begitu… Kami akhirnya mengambil kesimpulan untuk merekrut orang-orang yang lebih memiliki kemampuan dibidang teknisi komputer dan memberikan training akuntansi setelah menjadi karyawan. Karena mengajarkan akuntansi cenderung lebih mudah daripada mengajarkan teknisi komputer dari dasar. Masih ada kendala, kebanyakan teknisi komputer kurang mengerti pengolahan database, oke lah..kami juga harus training  database. Sudah selesai? Belum, kami juga harus memberikan training yang berkelanjutan untuk mengajarkan cara berkomunikasi, bekerja sama dalam team, budaya kerja, tanggung jawab, etika menghadapi client, strategi menghadapi clientyang mau menang sendiri dan masih banyak lagi yang harus diajarkan agar bisa bekerja minimal secara standar. Jadi kadang terbersit pertanyaan, apa fungsinya mereka sekolah sampai kuliah kalau hal-hal dasar seperti komunikasi, etika, kerjasama team dan tanggung jawab saja tidak mampu dikuasai? Kalau boleh dipersentasikan, mungkin bekal yang dibawa para karyawan dari sekolah atau kuliah untuk bekerja kurang dari 20%, selebihnya harus belajar lagi saat mulai bekerja. Ini dilematis, dunia usaha mengharapkan dunia pendidikan mampu menyediakan SDM siap pakai. Tapi kenyataanya dunia usaha malah terpaksa harus mengambil peran pendidikan yang seharusnya dilakukan oleh dunia pendidikan. Apa yang salah? Apa karena ilmu yang diajarkan dunia pendidikan adalah ilmu kadaluarsa? Ataukah dunia pendidikan tidak mau tahu apa yang dibutuhkan dunia usaha, yang penting tetap mendidik sesuai versi dunia pendidikan. Kadang saya juga agak negatif thinking pada para pembuat kurikulum pendidikan. Sepertinya pembuat kurikulum pendidikan kita hanya pakai ilmu “kira-kira”. Artinya hanya menebak-nebak, mungkin ini yang dibutuhkan dunia usaha, tanpa pernah bertanya kepada dunia usaha secara langsung apa sebenarnya yang dibutuhkan. Akhirnya kami menyimpulkan bahwa perusahaan harus bisa menjadi universitas kehidupan, yang mampu mencetak SDM handal mulai dari nol. Oleh karena itu di perusahaan kami tidak pernah menggolongkan gaji berdasarkan jenjang pendidikan. Karena ternyata jenjang pendidikan hanya berpengaruh sangat sedikit bahkan kadang nyaris tidak bisa dibedakan. Kami lebih memilih penilaian langsung terhadap kinerja karyawan ketimbang percaya dengan selembar ijazah yang kadang angka-angkanya menipu. Bahkan kadang karyawan yang berpendidikan rendah, bisa bekerja lebih baik dari karyawan yang pendidikanya lebih tinggi. Kami mencari orang-orang yang terus mau belajar, bukan orang-orang yang hanya terpelajar. Karena orang-orang yang hanya terpelajar adalah pemilik masa lalu. Pernah sekolah unggulan, pernah kuliah di universitas bonafit, pernah menjadi juara kelas, pernah menang lomba LCT dan lain sebagainya itu tidak akan berguna jika tidak mau terus belajar. Orang yang berpendidikan rendahpun jika mau terus belajar, akan memiliki kemampuan yang tinggi. * Catatan ini mungkin tidak berlaku di daerah Anda, mohon maaf jika saya salah menilai. http://marketingtulen.wordpress.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun