Sungguh miris melihat situasi keamanan di daerah kami, Lampung. Baru saja mendengar tetangga sebelah rumah yang rumahnya dijebol maling, teralis besipun berhasil dijebol para maling itu, tak pelak, 2 sepeda motorpun lenyap. Bahkan bukan hanya barang berharga, magic com yang masih berisi nasi pun mereka gasak hingga ludes. Dua hari setelah itu, ada tukang ojek yang ditusuk oleh begal di gang tempat kami tinggal. Bukan karena dendam pribadi atau perkelahian, namun hanya untuk merebut sepeda motor yang baru dibeli 3 bulan lalu dari tangan si tukang ojek. Tak berselang lama, sebuah warnet di lingkungan kami juga didatangi 5 kawanan perampok bersenjata api, satu orang menodongkan pistol ke penjaga warnet, satu lagi menggeledah isi dompet semua orang yang ada diwarnet, mengambil semua uang dan HP, dan yang 3 orang sibuk membongkar motor-motor yang sedang parkir di halaman warnet, mereka pilih motor yang masih baru semua. Belum lagi kabar yang setiap hari beredar, ada saja sepeda motor yang lenyap belum sampai 5 menit diparkir dan kejadian pembunuhan dijalanan hanya untuk mengambil alih kepemilikan sepeda motor secara paksa. Teror keamanan yang setiap hari dilancarkan para perampok ini telah menjajah rasa aman dan kebebasan warga sipil untuk memiliki harta benda yang sebenarnya dibutuhkan untuk aktifitas kesaharianya. Jadi serba susah, tidak punya kendaraan, susah, punya kendaraan juga susah menjaganya. Apalagi menjelang hari raya seperti ini, mereka makin membabi buta. Entah karena mereka memang orang-orang yang tidak mendapat kesempatan bekerja secara layak, ataukah memang enggan bekerja baik-baik. Alih-alih kemiskinan yang dijadikan kambing hitam menjadi penyebab semua ini. Saya kira bukan itu penyebab utamanya, banyak saya lihat orang-orang miskin yang menjaga dirinya dari mencuri, meminta-minta apalagi harus disertai tindakan kekerasan bahkan tergolong sadis. Kalau dibilang mereka tidak punya kerjaan, kemudian menghalalkan segala cara, tampaknya juga kurang pas. Karena sebenarnya bukan tidak ada lapangan kerja. Banyak lapangan kerja, namun mereka tidak mau melakukanya, mungkin malu atau menganggap hasilnya tidak sebesar merampok. Bahkan orang-orang lanjut usia saja masih bisa bekerja dengan baik, sering saya melihat kakek-kakek yang masih mendorong gerobak es berkeliling perumahan ditengah hari bolong. Mengapa mereka yang masih muda dan berenergi jauh lebih besar dari kakek tua tadi tidak mampu? Artinya kemiskinan dan kurangnya peluang kerja bukanlah alasan seseorang untuk melakukan tindak kejahatan perampokan. Kalau saya boleh menduga, ada dua hal yang menyebabkan ini:
- Moralitas. Penanaman moralitas yang keliru sejak kecil yang membuat mereka begitu tega melukai bahkan membunuh orang lain untuk mendapatkan sesuatu. Kurangnya pendidikan budi pekerti di sekolah ditambah lagi kurangnya pemahaman agama yang ditanamkan orang tuanya dirumah, saya kira menjadi faktor utama.
- Korupsi. Lho kenapa kok nyangkut-nyangkut korupsi? sering saya dengar obrolan orang-orang di warung kopi, bahwa para perampok yang berhasil ditangkap polisi bisa dilepaskan, asalkan membayar sejumlah uang. Karena setiap ada anggota yang tertangkap harus mengeluarkan uang, maka teman-teman satu team mereka pasti berusaha keras mengeluarkanya agar tidak merembet ke mana-mana. Tak pelak, mereka berjuang lebih keras dari biasanya, kalau biasanya satu hari cukup merampok 2 atau 3 motor, mereka kejar setoran jadi bisa 10 - 15 motor untuk mendapatkan uang secepat mungkin. Penangkapan semacam ini tidak menjadikan efek jera sama sekali bagi para perampok, malah meningkatkan adrenalin mereka untuk bekerja lebih giat lagi. Mungkin para perampok ini tidak perlu ditangkap, lebih baik ditembak mati saja agar memiliki efek jera.
Tapi ada juga cerita, katanya polisi kalah persenjataan dengan perampok, sehingga bukan perampoknya yang tertembak, malah polisinya yang tewas. Weleh-weleh....Kalau polisi saja takut sama perampok, bagaimana dengan kami rakyat jelata yang tidak punya senjata dan tidak terlatih ini? Ataukan perlu mempersenjatai semua rakyat sipil untuk melawan perampok?. Tapi janganlah, nanti malah banyak korban berjatuhan. Bukan perampok yang tertembak oleh rakyat sipil, malah banyak suami yang ditembak istrinya karena ketahuan selingkuh. Ya ...gimana tidak selingkuh, kalau mentri dan anggota dewan terhormat, yang notabenenya orang-orang terhormat yang seharusnya menjadi panutan masyarakat, malah pada selingkuh. Sudah gitu ketahuan istrinya dan diekspos media lagi. Sering mendengar kata selingkuh, lama-lama masyarakat kita menjadi resisten. Â Selingkuh menjadi hal biasa, itu yang setiap hari diberitakan acara TV yang isinya hanya gosip para selebriti kita. Wah..parah ya negeri kita ini? Kembali ke perampok, memang benar, seharusnya tidak perlu ditangkap, dipenjara dan dibina di LAPAS, tapi ditembak mati saja. Kenapa? dari pengalaman di lapangan, perampok yang tadinya baru coba-coba, setelah ditangkap, disel ketemu dengan perampok senior. Karena tidak ada kerjaan, maka mereka juga sharing, bagaimana menjadi perampok profesional. Jadi Lapas bukan dijadikan tempat pembinaan agar mereka kembali ke jalan yang benar, malah menjadi tempat kuliah bergengsi bagi para perampok junior. Belum lagi disitu mereka mendapatkan jaringan baru, dan sekeluarnya dari situ, bisa saja mereka bersatu untuk membuat pasukan yang jauh lebih kuat dari sebelumnya. Jadi gimana dong? ya Tembak ditempat saja. Sebelum mereka membunuh lebih banyak orang lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H