Mohon tunggu...
Iwan Setiawan
Iwan Setiawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Suka Hal Baru

Salah satu cara untuk survive adalah dengan belajar hal baru terus menerus

Selanjutnya

Tutup

Money

Melihat Sisi Lain Usaha Mikro

30 Juli 2010   04:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:27 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Anda mungkin sering melihat para pedagang seperti foto-foto ini, saya lebih suka menyebutnya pedagang portable. Mereka tidak perlu tempat permanen, yang jelas akan menghemat biaya sewa tempat usaha. Meskipun portable, mereka biasanya memilih mangkal ditempat tertentu dan semi menetap. Mengapa? Sepertinya prinsip available yang mereka terapkan. Mereka ingin pelanggan bisa mendapatkan keberadaan mereka dengan mudah. Mereka ini adalah pendekar-pendekar perekonomian kita, disaat perusahaan besar mengalami kesulitan keuangan saat krisis, mereka tetap eksis. Bukan berarti tidak terkena dampak krisis, tapi mereka jauh lebih tangguh dari perusahaan besar.  Mengapa mereka sanggup bertahan?, salah satu alasanya adalah karena itulah periuk nasi mereka, jadi mau tidak mau, mereka harus menyesuaiakan diri dalam kesulitan itu. Kenaikan harga bahan baku yang menggila, kadang tidak diikuti dengan kenaikan harga jual produk, karena jika harga jual dinaikkan, mereka takut kehilangan pelanggan. Akhirnya yang dilakukan adalah memperkecil margin, membuat paket ekonomis dan berbagai inovasi lain agar produk tetap terjual. Mereka juga pejuang yang tangguh, karena tidak pernah mengeluh pada perbankan untuk mendapatkan tambahan modal usaha. Rata-rata mereka mendapatkan modal dari kocek sendiri atau kredit kepada rentenir. Rentenir yang biasa memberi pinjaman dari perorangan, ada juga dalam bentuk koperasi. Mereka meminjamkan uang dengan bunga tinggi antara 10% – 30% per bulan. Menurut UU no. 20 tahun 2008 tentang usaha mikro, kecil dan menengah, usaha tersebut diatas termasuk usaha mikro, karena memiliki kekayan bersih kurang dari 50.000.000 dan omzet penjualan kurang dari 300.000.000. Meskipun menurut undang-undang tersebut, usaha mikro memiliki hak untuk mendapatkan pinjaman modal dari perbankan, namun kenyataanya masih sangat sulit. Terutama karena persyaratan perbankan yang tidak mampu mereka penuhi. Mereka tidak pernah punya SIUP, SITU dan TDP, padahal itu salah satu syarat untuk mendapatkan kredit dari perbankan . Bagaimana mungkin bisa dapat SITU kalau tempat usahanya saja tidak permanen, mungkin petugas juga akan kebingungan menuliskan alamat lengkapnya, karena mereka membuka usahanya dipinggir-pinggir jalan yang tidak ada nomor rumahnya. Pengusaha mikro juga sering terkendala dengan persyaratan agunan, mereka rata-rata tidak memiliki agunan. Tempat tinggal saja hanya kontrak. Memang ada bank yang memberikan kredit tanpa agunan, namun syaratnya, usaha harus sudah berjalan minimal 2 tahun, memiliki pembukuan keuangan yang baik dan menguntungkan. Sedangkan untuk usaha mikro seperti ini, masih jarang yang memiliki pembukuan, apalagi harus menguntungkan. Kadang keuntungan mereka berjualan satu hari, habis untuk kebutuhan hidup hari itu juga. Bukan karena mereka boros, tapi karena memang hasil usaha yang kecil. Sehingga bisa dikatakan mereka tidak bankable untuk mendapatkan pinjaman perbankan. Sebenarnya menurut saya, bukan mereka yang tidak bankable, tapi bank yang tidak mampu melihat mereka dari sisi lain. Bank hanya melihat dari sisi materi dan fisik saja, mudahnya mereka hanya mau mengucurkan dana kalau ada agunan, tempatnya jelas, usahanya jelas dan menguntungkan. Dengan kata lain, mau enaknya saja. Padahal banyak usaha mikro yang tidak jelas tempatnya, tidak punya agunan, tidak memiliki pembukuan, tapi sebenanya menguntungkan, orang-orangnya juga kredibel dan mampu mengembalikan pinjaman. Memang untuk menverifikasi hal ini awalnya agak ribet (itu yang tidak disukai bank), perlu tenaga khusus untuk melakukan verifikasi substansial dari usaha itu, bukan hanya casingnya saja. Yang mampu menangkap ini justru malah para rentenir yang berkedok koperasi, atau sering disebut bank plecit, banktitil, bank upil atau istilah lain yang menggambarkan betapa jelinya melihat peluang ini. Mereka tidak pernah meminta agunan untuk memberikan pinjaman, bahkan juga tidak melakukan analisa usaha yang njlimet, modalnya hanya kepercayaan. Oleh karenanya, meskipun dengn bunga tinggi, para pengusaha mikro ini memilih meminjam modal kepada rentenir dari pada kepada bank. Tidak jarang para kreditor ini memberikan pinjaman hanya dengan menanyakan kredibilitas peminjam kepada tetangganya yang lebih dulu jadi  peminjam. Mereka percaya, kekuatan komunitas jauh lebih kuat dari analisa usaha yang mendetail. Agar pinjaman yang mereka berikan kepada pengusaha mikro ini memiliki tingkat pengembalian yang tinggi, maka mereka menarik pengembalian pinjaman setiap hari. Mengingat pola usaha mikro –biasanya- hasil hari ini dimakan hari ini juga, jadi mereka tidak akan membiarkan pengembalian kredit satu bulan sekali. Dengan sistem harian, jika dalam satu bulan terlewat 3 kali, berarti tingkat pengembalian masih 90%, tapi kalau sistem bulanan, mereka terlewat 1 kali saja, berarti tingkat pengembalian jadi 0%. Dengan pengembalian pinjaman setiap hari ini, juga membuat komunikasi antara peminjam dan pemberi pinjaman terjalin lebih dalam. Pemberi pinjaman mengetahui keseharian mereka, perkembangan usaha, sikap mental dan prinsip-prinsip hidup para peminjam, hal ini yang tidak pernah dilakukan oleh perbankan. Dengan mengetahui lebih dalam tentang kehidupan mereka, maka untuk pinjaman berikutnya yang lebih besar, para bank plecit ini tidak perlu ragu lagi. Dari sini bisa disimpulkan, bahwa untuk mendapatkan jaminan keamanan atas uang yang dipinjamkan kepada pengusaha mikro, agunan berupa surat berharga sebenarnya tidak mutlak diperlukan. Ada cara lain yang jauh lebih akurat, lebih santun dan jauh dari kesan matre. Saya masih punya harapan besar, perbankan syariah mau menggarap para pengusaha mikro ini. Selain didalam agama dianjurkan tolong menolong dalam hal kebaikan dan taqwa, saya melihat bank syariah tidak begitu materialistis dibandingkan dengan bank-bank konvensional yang memang profit oriented. Kalau Bank Syariah masih berpegang pada tatanan keagamaan secara baik, seharusnya mau melakukan hal ini. Memberi pinjaman kepada pengusaha mikro juga berarti membantu kaum yang lemah, bahkan lebih jauh dari itu dapat membantu dalam pengentasan kemiskinan. Kalau para rentenir saja bisa melakukanya, seharusnya perbankan syariah juga jauh lebih bisa. Hanya persoalanya mau atau tidak. Tulisan ini juga di posting pada blog saya http://marketingtulen.wordpress.com/2010/07/30/melihat-sisi-lain-usaha-mikro/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun