IBADAH Magrib baru saja usai di Sabtu petang. Beberapa gelas Teh Tarik panas, uapnya menggelembung-lengkung menghiasi tepian gelas. Roti bakar turut menemani. Asman Abnur, bersama isterinya Zas J. Asman, menawarkan lagi aneka jus. Kami duduk di kursi cafe Masjid Jabal Arafah, Batam. Di kawasan Islamic Center ini, suasana bagaikan di sebuah mall, lokasinya bersebelahan dengan Nagoya Hilss. Momen kedua saya di sana. Pertama datang, November2013, saya pernah menulis.
Lima pohon Kurma tinggi dua kali orang dewasa tampak hijau. Dedahanannya berpelepah kuning berduri bergeri. Di sekeliling Kurma, air bergerak menyala. Pompa menaikkan air ke beberapa pipa disinari cahaya lampu. Air jatuh bercorak kemilau ke kolam bening.
Daun-daun Terminalia seekuran ujung telunjuk menengadah seakan berdoa. Pepohonan ini berbaris di kiri kanan jalan. Tiga tahun lalu pepohonan menuju bukit tempat masjid berada, masih semeter. Kini rimbunannya tiga kali tinggi orang dewasa. Di setiap dahannya menggelantung lampu-lampu menyala bagaikan air jatuh ditingkah cahaya.
Bersama isteri saya, Sandra, kami perhatikan beberapa orang mengantri lift hendak naik ke menara masjid. Setiap pengunjung membayar Rp 2.500. “Dari mereka yang naik ke menara itu, masjid memperoleh Rp 50 juta sebulan,” kata Asman pula, “Sudah menutup biaya listrik kawasan masjid.”
Masjid Jabal Arafah (JA) membayar listrik Rp 33 juta sebulan.
Agaknya, inilah masjid milik keluarga pembayar listrik terbesar di Indonesia.
“Dari pukul enam malam hingga pukul enam pagi seluruh lampu kawasan masjid saya minta menyala,” tutur Asman, kini Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara RI itu.
Saya menjadi teringat logika dasar; konsumsi listrik berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi. Artinya makin bergerak ekonomi kian jreng pemakaian listrik sebuah bangsa. Fakta di kita di logika Perusahaan Listrik Negara (PLN), sebaliknya: merasa perlu menghimbau hemat listrik. Di JA segalanya seakan tampak benderang, mengalirkan aura lapang.
Bukan saja ranah ibadah semarak. Ekonomi di JA memang hidup. Ada saja kegiatan masjid menghasilkan uang. Café, jualan nasi setiap Jumat, penyewaan ruangan untuk berbagai pertemuan termasuk pernikahan, penitipan anak bagi orang tua sedang belanja ke mall sebelah. “Juga sekolah agama di Sabtu Minggu,“ ujar Ny. Zas.
Maka tidak berlebihan bila saya menyarankan banyak masjid melakukan studi banding ke JA.
Akan halnya diksi studi banding, Asman langsung seakan meralat, “Sudah saatnya kita mengubah studi banding menjadi studi tiru, ngapain kita banding-bandingkan, bila sesuatu itu bagus, tiru; studi tiru,” tutur Asman tersenyum.