[caption id="attachment_323962" align="aligncenter" width="440" caption="Ilustrasi/Admin (wartakota.tribunnews.com)"][/caption]
MENGENAKAN baju batik katun lengen pendek, coklat kekuningan, M. Jumhur Hidayat, siang 13 Februari 2014, saya temui tak terduga pas di hari ulang tahunnya ke-46. Itu perjumpaan saya keempat dengannya. Ketika pertama bertemu di Kota Bahru, Kelantan, Malaysia, September 2013 di saat saya atas bantaun seorang kenalan sebagai pribadi ikut mengadvokasi kasus Wilfrida, Tenaga Kerja Wanita (TKW), hingga saat ini masih bersidang, terjerat hukuman mati. Wilfrida diadili karena membunuh majikan. Jumhur datang sebagai Kepala BNP2TKI ( Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja).
“Kami sudah banyak berbuat, tapi ya kadang dari ribuan sudah dikerjakan, seakan lenyap oleh satu, dua, kasus, seperti kasus Wilfrida, yang sebetulnya bukan lagi ranah kami,” ujar Jumhur.
Saya sudah menulis ihwal Wilfrida itu dua kali (baca di sini dan di sini).
“Lebih menyakitkan, seakan kami ini tidak berbuat untuk para TKI,” kata Jumhur. Karenanya ia merasa acap berteman hujan fitnah. Fitnah dimaskudkan, ya, contoh untuk kasus Wilfrida yang masuk ke Malaysia menggunakan jalur illegal, seharusnya kriminil, namun giliran bermasalah cacian menimpa dirinya, makian ke badan dipimpinnya.
Karena itulah di saat ia memimpin lembaga setingkat kementerian itu sejak 2007 itu, Jumhur datang dengan ide KTKLN (Kartu Tanaga Kerja Luar Negeri, dapat diperoleh gratis. KTKLN itu secara tak langsung memfilter setiap TKI berangkat agar terhindar dari cara-cara illegal, dan dirugikan.
Namun niat baik Jumhur dan badan dipimpinnya, tidak bersambut mulus. Paling tidak mereka para TKI/TKW di Hongkong terutama mempermasalahkannya. Mulai dari isu menyusahkan pengurusan, hingga tak berguna. “Untuk Hongkong, memang pengurusan tak dilakukan oleh KJRI, dan dominan mereka di Hongkong asal Jawa Timur,” ujarnya.
Dua topik itu, Jumhur memberikan alasan, bahwa Jawa Timur hingga kini belum ada perwakilan cabangnya. Pelaksanaan pengurusan TKI masih dilakukan oleh Pemda Jawa Timur. Dan biasanya Pemda, menurut Jumhur membuat aturan sendiri, bahkan lebih ribet. “Sementara untuk Departemen Luar Negeri tidak satu suara pula, JKRI Hongkong tak mau melayani KTLN,” keluhnya. Karena itu Jumhur di Hongkong bekerja sama dengan Lembaga Swasdaya Masyarakat untuk urusan KTKLN.
Ketika saya katakan, bahwa di media sosial sudah ada petisi untuk menghapus KTKLN, Jumhur langsung memotong pembicaraan. “Itulah bentuk pembodohan. KTKLN yang akan melindungi TKI dari human traficking, illegal, itu dianggap menyusahkan. Saya tahu misalnya para TKI di Malaysia omong kenceng,” tutur Jumhur pula, “Negara itu sering mengeluarkan visa kerja gelontoran. Nah para tekong, calo tenaga kerja, dapat visa kerja, lalu mereka mencari mangsa, diurus paspor sang mangsa, lantas visa kerja tak ditempel di paspor, tapi dikantungi, nanti masuk Malaysia baru ditempel di paspor.”
Bentuk cara curang demikian itu sudah berlangsung lama. Dan banyak negara memanfaatkan hal demikian menangguk tenaga illegal, perdagangan manusia. “Maka KTKLN ini sebenarnya penyelamat,” tuturnya meyakinkan. Jumhur juga menyebut negara seperti di Timur Tengah acap mengeluarkan blocking visa kerja ke perusahaan jasa tenaga kerja. Visa kerja blok itu seperti racun, mengantar kepada illegal dan perdagangan orang.
Lantas bila mulia demikian mengapa tak tersosialisasi kebaikan KTKLN? “Ada, tapi ya itu, dua kasus Hongkong, Malaysia saya contohkan. Karena itu, saya ini tertawa saja, acap mendapatkan fitnah,” tuturnya pula, “Mereka yang terdidik kerja di Qatar yang bekerja di perusahaan minyak bergaji Rp 200-300 juta tak pernah permasalahkan soal KTKLN, karena setelah dijelaskan paham gunanya.”