Entah untuk ke berapa kali bangsa dan negara tercinta ini mendapatkan kabar pilu soal Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri. Sosok gadis belia, berkulit putih bersih bernama Erwiana Sulityaningsih, asal Ngawi, Jawa Timur, delapan bulan lalu mara ke Hongkong menjadi TKW, tepatnya pembantu rumah tangga. Ia bermimpi bak TKW lainnya ke Hongkong mendapatkan gaji memadai, tinggal dengan majikan memberikan penghidupan baik bagi peradaban.
Apalagi membaca berita tentang TKW di Hongkong, setiap akhir pekan berkumpul di taman Victoria, ada waktu jeda, berlibur bekerja, bercengkerama dengan sesame TKW di sana. Di benak Erwiana, sebuah pengalaman menjanjikan. Pemikirannya itu tampaknya hanya fatamorgana. Sebab, setibanya di Hongkong mendapatkan majikan Law Wan Tung.
Law, menurut penuturan adiknya, Putut, ke media, kakaknya bekerja 21 jam sehari, setiap salah sedikit dipukuli. Al hasil, bukan keceriaan week end di Victoria Park yang terjadi, malahan Erwiana dalam kondisi badan rusak, lemah, tulangnya untuk sekadar berdiri terasa remuk, mengemis meminta dipulangkan ke majikan. Sayang seribu sayang, dengan fisik rusak itu, Erwiana tidak diotopsi. Di benaknya hanya: pulang! Dan oleh agen yang mengirim, kejadian ini telah dilaporkan ke polisi Hongkong
Maka sejak 10 Januari 2014 lalu, Erwiana dirawatlah di Rumah Sakit Sragen, Jawa Tengah, dengan badan lemah, raut wajah berbintik-bintik bekas luka, dua kelopak mata lebam, jari bekas luka mebusuk, kaki bekas pukulan pun busuk. Bila dibandingkan foto Erwiana sebelum berangkat ke Hongkong dengan saat ini, bak apel segar kini sawo busuk. Luka-luka basah masih menyelimuti badannya bernanah.
Untuk menyimak hal ini sebuah link berita di televisi Hongkong dapat Anda simak di http://www.youtube.com/watch?v=Yu3ltpyTfHg
Saya tak paham, ini entah hitungan ke berapa TKW mengalami nasib demikian. Sebelumnya ada kasus Sumiati mengemuka ke media. Sumiati di Arab Saudi, sampai digunting bibirnya oleh majikan. Bonyok wajahnya sama, bahkan lebih parah dari Erwiana. Hingga hari ini saya belum pernah menyimak ada telaah, kajian, mengapa hal demikain terus berulang. Apakah karena kelas TKW kita kirim kurang terdidik, bekerja bak robot, sehingga membuat emosi majikan tinggi, atau memang sang majikan adalah orang-orang sakit? Artinya salah alamat tempat?
Saya lebih menguatkan keyakinan, hal demikian terjadi karena salah kaprah kita mengirim kelas pembantu ke luar negeri. Untuk Hongkong dianggap lebih oke dibanding negara lain, ketika berkunjung ke negara itu, saya mendapatkan fakta bagaimana sang TKW tidur di tangga apartment. Anda tahu sendiri keadaan apartment di Hongkong, ruang kecil saja begitu bermanfaat. Terasa tidak manusiawi, namun memang demikian adanya. Saya sendiri pernah menginap di ruang kecil apartment dijadikan hotel hanya seukuran 2 x 3 meter. Dalam keadaan ruang mahal dan sempit itu, sarana TKW di Hongkong terasa getir.
Namun secara psikologis, kekangan ruang tidur bareng kecoa pun, jika majikan baik, dan gaji dibayar sesuai kontrak, kegetiran itu itu terasa enjoy. Apalagi ada penghiburan di Taman Victoria. bertemu sekali sepekan dengan kawan-kawan sebangsa setanah. Ceria-ceria. Walupun di balik keceriaan itu tetap saja bejibun masalah kehidupan, mulai perkawinan sejenis hingga seks bebas.
Bagi saya keceriaan meraka hanyalah pelarian kepahitan. Tetap saja kurang manusiawi akibat sikap pemimpin bangsa dan negara. Presiden kita sepanjang masa bukanlah bak Zia Ul Haq, Pakistan, lebih miskin. Ia ke Raja Fahd, Arab Saudi, pernah bilang, “Kami tak akan mengirim perempuan kami bekerja ke luar negeri karena kami yakin tak mampu melindungi kehormatannya.”
Negeri kita kaya. Saya sudah memverifikasi secara angka memang sangat kaya. Penggelapan pajak pola transfer pricing pada 2005 saja terindikasi Rp 1.300 triliun setahun. Pelakunya dominan korporasi besar di Indonesia. Angka itu saya temui setelah bertanya ke langit, ke Allah Maha Agung, pada penghujung 2009, di tengah malam di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, setelah siangnya mendapatkan fakta ada TKW diperkosa anak majikan.
Bila saja presiden baru nanti memutuskan ada Penyidik Pajak bak di Amerika Serikat, ada badannya, maka pengadilan pajak juga tak seperti hari ini terlalu banyak kongkalingkong dan tak mengenal dosa di antara 48 hakim pajak itu, devisa Rp 100 triliun pun dari pengiriman TKW setahun, menjadi sangat kecil nilainya.