[caption id="attachment_92131" align="aligncenter" width="680" caption="Ilustrasi/Admin (shutterstock)"][/caption] Ranah perpajakan di negeri ini mengalirkan laku histeria bak orang kaya mabuk menampar-nampar muka sendiri. Isi koceknya tambun. Dari baju hingga celana bahkan seluruh tubuhnya penuh uang, tetapi berserak, berhamburan digerogoti pencoleng. Sosok tenggen itu tak sadar- sadar. Dalam keadaan mabuk ia “membakar” uang, menguapkan peraturan melalui asap mengepul. Sulit mencari lema pas satu dua kata menyampaikan premis soal pajak di negeri ini. Saya hanya bisa menggambarkan melalui kalimat pemikat, sebagaimana dapat Anda baca di atas. Sebelum kasus penggelapan pajak dan mafia kongkolingkong pajak di sosok Gayus membuncah, saya lebih awal telah menulis rangkaian Sketsa, hasil reportase di Pengadilan Pajak; di mana pada 2009 saja penggelapan pajak melalui laku transfer pricing (kewajaran), terindikasi mencapai Rp 1.300 triliun. Ini setahun tok. Laku transfer pricing berjalan tiap tahun, tak terkecuali tahun ini yang baru memasuki bulan kedua. Angka tambun itu, tak pernah mendapat perhatian serius Direkltorat Jenderal pajak. Bentuk cueknya, dari 38.000 orang karyawannya, hanya 5 orang saja yang mengurus menggunggung-gunung uang hilang tiap tahun itu. Secara organisasi hanya dalam bentuk sastu seksi yang mengurus transfer pricing. Belum lagi ranah Pengadilan Pajak, dikuasai oleh hakim pajak yang sebanyak 48 orang dominan, mencapai 95%, mereka juga pernah bekerja di Dirjen Pajak. Sosok mereka terindikasi bermasalah menegakkkan keadilan pajak. Sisa 5% pun - - kendati ditolak mentah-mentah oleh pihak Pengadilan Pajak - - terindikasi pula membawa-bawa nama sebagai wakil Kadin Indonesia, yang keberpihakannya Anda pastilah paham. Pembaca rutin Sketsa saya, tentu masih ingat, bagaimana di awal Sketsa saya menulis, pintu Pengadilan Pajak saja tertutup rapat. Lalu pembatasan wartawan masuk dilakukan sejak di lantai bawah di Depkeu itu. Kendati secara UU Pengdilan Pajak, tegas menyatakan bahwa mereka kudu terbuka kepada publik, termasuk perusahaan yang berani menggugat soal pajaknya, berarti mau membuka diri ke publik. Akan tetapi logika dan UU itu tinggal di kalimat. Kemudian sontak berita media mainstream fokus ke Gayus. Media, terutama televisi perlu sosok digadang-gadang untuk menambah rating. Nama Gayus dijual berhari, berbulan-bulan. Gayus paham bahwa ia menjadi tontonan utama pun tak kalah pintar melempar lembing. Ia ngelunjak setelah menjadi perhatian utama, dan puncaknya meminta menjadi tenaga ahli Kapolri segala. Saya di Facebook, di twitter, selalu mengingatkan bahwa Gayus itu bak kotoran manusia, yg dihidangkan di piring, pyrex, di taruh ke meja makan kristal, lalu sang kotoran di tarok dilemari kaca, disimpan, dihidangkankan kembali dengan terlebih dahulu dipanaskan di microwave staintless steel. Sangat terhormat. Tampak seakan-akan bermartabat. Padahal sesungguhnya ia adalah kotoran yg amat menjijikkan. Tetapi itulah kenyataan. Kita seakan “dipaksa” menikmati hidangan itu oleh televisi, media online dan media mainstream lain. Di lain sisi, entah untuk kesekian ribu kali, saya mengatakan penggelapan pajak di negeri ini tidak pernah akan beres, tidak akan pernah menyelamatkan uang rakyat, tidak akan pernah memberi rasa keadilan bagi publik, selagi masih ada kalimat: Penggelapan pajak boleh diselesaikan dengan cara di luar pengadilan dengan membayar denda maksimum 400% dari pajak yang digelapkan: diterakan dalam ketentuan Unadang-Undang (UU) penggelapan pajak di negeri ini. Anda baca kalimat itu lamat-lamat. Anda akan paham betapa bogem mentah seakan bertubi datang ke muka sendiri. UU sejenis, setelah saya verifikasi tak ada duanya di dunia ini. Bandingkan angka devisa yang dapat dari TKI, TKW, juga pada 2009, hanya mencapai Rp 59 triliun. Citra bangsa di luar, terlalu pahit untuk saya tuliskan. Namun demikian tetap saya tuliskan karena memang saya temui di Emirat Arab apada 2010, sebuah citra: babu yang gampang digauli. Itulah kita. Di cukai rokok, di tahun sama, uang masuk juga di kisaran Rp 59 triliun . Jumlah dua angka ini, bandingkan dengan Rp 1.300 triliun yang tak diurus? Pekan ini kita heboh lagi dengan pajak film impor. Silang pendapat terjadi. Ssosok Noorca Massardi yang mewakili pihak importir film asing menyampaikan sikap produsen. Mereka merasa aneh terhadap kebijakan baru perpajakan bangsa kita. Mira Lesmana, produser film lokal pun mengaku film Indonesia pun dipajaki dengan cara tak fair. Dan saya sangat yakin dari pajak film impor setahun tak sampai Rp 59 triliun kita dapati. Itu artinya tak sampai 10% dari Rp 1.300 triliun yg menguap pada 2009 saja. Film padahal produk kebudayaan. Film menjadi salah satu oase menambah wawasan. Di lain sisi, bangsa-bangsa yang beradab, selalu menempatkan pajak sebagai “pinjaman” negara terhadap rakyat, dengan tanpa bunga. Uang pajak itu dikembalikan kepada publik banyak, ke dalam bentuk layanan public maksi. Bahkan ada Negara yang mengembalikan dana cash di setipa akhir tahun. Maka, di urusan pajak di negeri ini, saya kehabisan kata, tak mampu lagi mencari diksi, untuk mendeskripsikannya lagi. Saya ini serasa bagaikan seekor anjing yang terus melolong sendiri, di tengah hiruk pikuk berita media yang bermain di ranah kulit dan rating. Saya melolong bak anjing yang mungkin saja dilindas di tengah jalan, digiling-giling roda-roda gila jalanan, lalu lenyap menguap, bagaikan orang mabuk yang membakar-bakar uang bak di pemikat tulisan ini. Tinggalah asap yang terus menguap-menguap mengalirkan bau terus-menerus mengalir ke setiap rumah tangga kita. *** Iwan Piliang; Literary Citizen Reporter, blog-presstalk.com, Pemred Dmagz, tedas peradaban, free magazine.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H