SEHARI jelang 17 Agustus 2016, sebelum menutup petang Alex Noerdin, Gubernur Sumatera Selatan, mengajak kedua cucu kembarnya, Aletta dan Atalie, 9 tahun, ke bilangan jalan di seputar kawasan Kantor Walikota Palembang. Di sepanjang Jalan Merdeka itu berderat di tepi jalan pedagang menjual kapal-kapalan manca-warna, ada juga berbentuk pesawat terbang kertas. Paling dominan kapal, lengkap bercorak batik galo. Di bagian tengah kapal diletakkan satu telur berkulit merah, warga Sumsel menyebutnya Telok Abang.
“Telok Abang hanya ada setahun sekali, jelang perayaan tujuh belas Agustus,” kata Alex.
Saya simak petang itu ia berjalan di kemeriahan hari di rembang petang. Beberapa warga menyimak aksi Alex didampingi sang isteri Eliza, juga menantunya Thia Yufada. Langgam mereka jauh dari formal. Seorang pedagang kapal Telok Abang, terbuat dari bahan sedotan plastik minuman disusun bertrap, terkesan artistic, sepanjang setengah meter.
“Pak beli Pak!”
“Berapa?”
“Lima ratus ribu.”
“Ahh kau ini giliran aku yang beli mahal nian?”
Alex tertawa.
Para pedagang tertawa.
Usai memilih dan membeli dua kapal kertas bertelok-abang bagi cucunya, Alex menghampiri seorang ibu penjual penganan tradisional. Ia mengangkat jepitan kayu, laksana jepitan kayu pembakar ikan tradisional. Ada daun berbentuk lupis seperti sudah disangrai. Aroma daun, ketan dan gula merah panas menguap. “Ini juga kue langka, “kata Alex pula,” Lemper Sapit namanya.”
Sambil membayangkan aroma dan rasa Lemper Sapit, saya mencari literatur tentang ketelok-abangan. Tidak ketemu. Dari menyimak beberapa tulisan warga di arsip Google, saya mendapatkan rumusan begini: merah warna keberuntungan, telur simbol kehidupan.