Mohon tunggu...
Narliswandi Piliang
Narliswandi Piliang Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Traveller, Content Director, Citizen Reporter, Bloger, Private Investigator

Business: Products; Coal Trading; Services: Money Changer, Spin Doctor, Content Director for PR, Private Investigator. Social Activities: Traveller, Bloger. email: iwan.piliang7@yahoo.com\r\nmobile +628128808108\r\nfacebook: Iwan Piliang Dua , Twitter @iwanpiliang7 Instagram @iwanpiliangofficial mobile: +628128808108

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tokcer Titiek Ketum Berkarya

18 Juni 2018   17:17 Diperbarui: 18 Juni 2018   21:01 1263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebulan jelang Munaslub Partai Gokar pada penghujung Desember 2017 lalu, saya menghubungi Titiek Soeharto. Kami dari IP Center, meyakini  bahwa figur Siti Hediati Soerharto, akrab disapa Titiek, punya peluang menjadi Ketua Umum Partai Golkar. 

Alasannya sederhana. Yakni; belum ada figur memanfaatkan faktor psikologi massa di mana rindu terhadap kepemimpinan Pak Harto meningkat di tengah masyarakat; terlebih pedesaan. Juga, idealnya partai punya public figure. Maka kami membuat dan mensosialisasikan konten di Sosmed tentang Titiek jelang Munaslub Golkar itu. Saya masih ingat sebuah konten ditulis Indra J. Piliang, animo netizen terhadap Titiek naik tajam.  Ia bahkan  mengingatkan untuk menyimak hal itu agar tak menjadi backfire, bumerang di internal Golkar.

Setiap berkeliling Indonesia, perihal rindu Pak Harto itu mengemuka. Maka ketika berkesempatan bertemu empat mata dengan Presiden Jokowi pada 21 Januari malam di Palembang,  saya menyampaikan bahwa  rindu Pak Harto itu mesti dijahit. Diksi rindu dikaitkan dengan Pak Harto kini bukan sebatas lema sahaja.

Logika saya, kebungkarnoan di renda-renda, dijahit-jahit, dihidang-hidang, menghasilkan kekuatan politik.   Sejak awal reformasi kebungkarnoan pun naik daun. Sudah  jutaan lema dituliskan ihwal berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang budaya, Tri Sakti Bung Karno itu, justeru kian hari menguatkan kerinduan kepada Pak Harto semakin tajam. Terlebih  di tataran bawah, di pelataran pedesaan di hamparan-hamparan sawah membutuhkan basah; bagaimana mendapatkan pupuk mudah, hidup tak susah.

Begitu pun dengan Gus Dur. Namanya diloyang-loyang, melahirkan Gusdurian; pemikiran akan keberagamaan, toleransi. Diakui atau tidak kegusdurianan itu tidak menyentuh ekonomi, walaupun berperhatian terhadap pemikiran kebudayaan, khususnya mereka di lapisan ekonomi atas. Mungkin karena trade mark Gus Dur bagi saya seorang Kolumnis Kebudayaan.

Ketika bertemu lagi dengan  Presiden Jokowi pada kejuaraan burung berkicau di Kebun Raya Bogor,  Februari 2018 lalu, di saat ia memberi  kesempatan saya  naik Boogie, mobil golf, di mana ia menyetir,   saya menjelaskan hal-ihwal beberapa hal.

Saya perlihatkan Bulkonah (Bulat Kotak dan Panah), istilah paparan familiar di TNI,  dan termasuk  soal: menjahit rindu Pak Harto. Saat bertemu Pak Jokowi lagi usai KTT Asean di Singapura, atas kebaikan Protokol Kemenlu, saya tak sempat lagi mengingatkan rindu Pak Harto, kami dari Echo,  lebih menyarankan kepadanya, untuk membagi sejuta Al Quran selama Ramadan, sebagai inisiatif relawan. Ia berjanji mengundang membicarakan di istana Bogor. Pertemuan  sesuai diperintahkan kepada AADC,  diucapkan Pak Jokowi lebih tiga kali, hingga kini belum terjadi lagi.

Sembari menungggu janji Pak Jokowi, komunikasi saya dengan  Titiek Soeharto terus terjalin. Dalam pengamatan saya, figurnya berbekal pendidikian di bidang finance, anak seorang Jenderal, mantan presiden pula, ia   bertutur  mengacu ke pondasai teori dasar komunikasi publik; hati nurani, akal, budi; terasah, melahirkan sosok Titiek sebagai anggota DPR-RI, khususnya untuk daerah pemilihan di Jojga,  memiliki marwah tersendiri. Perihal ini saya simak langsung di Jogja, ketika menyerahkan bantuan banjir di wilayah Bantul penghujung 2017. Agaknya, dari Mbak Tutut hingga Mamiek, momen  kebermarwahan itu, kental dimiliki Titiek.

Ketika ikut rombongan anggota DPR-RI, dalam sebuah acara perlemen wanita dunia di Lituania, saya  sempat WA Mbak Titiek. Pulang ke Jakarta keesokannya ia langsung ke Jogja. Pada 11 Juni 2018, di bulan penuh berkah, Ramadan, saya membaca di media online, Titiek menyatakan mundur dari Golkar, bergabung ke Partai Berkarya, didirikan  oleh Tommy Soeharto, adiknya. Beberapa hari kemudian saya tertawa sendiri membaca alasannya keluar. Titiek bilang ke media,  karena Berkarya punya otak, Golkar Beringinnya banyak setannya. Saya simak logo Partai Berkarya, pohon beringinnya  hijau, bervisual grafis otak manusia.

Saya terbayang wajah ketua DPR-RI, Bambang Soesatyo,  seangkatan dengan saya dilantik menjadi anggota HIPMI 1991. Teringat juga kawan-kawan seangkatan lain seperti Habil Marati, Hamka Yandhu, Nurlif, dan lain-lain. Dulu semua anggota HIPMI, Kadin, otomatis menjadi anggota Golkar.

Saya menyimak sepak terjang kawan-kawan itu dari jauh. Di saat mengingat mereka, saya kaget membaca ada pengurus Golkar bilang mereka justeru bersyukur senang keluarnya Titiek. Katanya, Golkar terhindar dari embel-embel Cendana. Seakan keluarga Cendana tumpukan najis harus dihindari. Di Golkar sendiri terjadi silang-pendapat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun