Saya menimpali: Benar Pak Presiden, walaupun belum pemilihan presiden kala itu, saya memang sudah menyapa Bapak Presiden kepada Jokowi; sebab bila dibiarkan penyelenggaraan hajji bergabung dengan kementrian agama, kuatir kementrian agama menjadi biro perjalanan terbesar di dunia. Kami tertawa.
Dalam perjalanan pulang dari Condet kembali ke Cempaka Putih saya sengaja mampir ke kedai Mie, kini sudah memiliki lahan luas. Beberapa bangunan bertingkat di kiri kanan jalan menjulang. Barulah saya ngeh sudah pula tiga tahun lebih saya tak pernah melalui jalanan di ibukota itu. Orang-orang berjalan pulang dan pergi, siklus kehidupan berdenyut bak jantung, dug, dug, dug. Roda kehidupan berputar. Begitu darah berhenti beredar denyut jantung down, malaikat maut datang seketika.
Di saat saya mengedit tulisan ini, saya perkirakan jasad Ustad Faisal sudah disemayamkan di rumah duka di Palu, pastilah ramai pentakziah. Saya percaya warga Palu kehilangan salah satu putra terbaik Sulawesi Tengah, putera terbaik bangsa. Sosok selalu tenang menyampaikan dakwah, figur acap mendampingi para tokoh di republik ini melakukan Umroh.
Salah satu sosok memberi tahu saya bahwa Ustad Faisal berpulang adalah, SyeikhMuhammad. Ia pemilik salah satu biro perjalanan umrah dan hajji, turut pula mendampingi Bapak Jokowi Umrah bersama kami kala Pilpres 2014 lalu.
"Hidup sebuah perjalanan."
Ustad Faisal memberi petuah.
"Perjalanan paling berat di dalam hidup, menjernihkan hati."
"Rasulullah kita diberi amanah oleh Allah menjadi pemimpin karena hatinya bersih."
"Hati Rasulullah disucikan, beliau kemudian bisa Mi'raj."
Saya pernah bertanya kepada Ustad Faisal, apa kiat membersihkan hati?
"Perbanyak zikir, perbanyak membaca Al Quran, perbanyak senyum."