Saya verifikasi sepak terjangnya menjadi anggota DPR. Saya simak karir profesionalnya. Maka bukan berlebihan bila saya katakan ia profesional dan mengedepankan hati nurani suci. Maka setidaknya ada lebih dari satu tulisan saya tentang  dirinya dan Golkar.  Dalam kerangka ini sebagaimana dunia online di republik ini, tepatnya khasanah Sosmed, kerendahan hati verifikasi minim di saat minat membaca buku di urutan ke-60 di antara 61 negara diriset, adab menjadi raib, diskusi basi apatah pula dialektika.Â
Kendati saya tak mengaktifkan seluruh akun Sosmed saya lagi, artikel panjang di Kompasiana ini pun  disasar untuk dimaki-maki.Â
Itulah kita kini.
Media mainstream, di mana sudah lama saya katakan jurnlisme kita mati. Â Alm Budiman S Hartoyo, redaktur Senior Tempo, "Jurnalisme kita kini jurnalisme ludah." Maka wartawan cenderung mengarahkan setiap berita tergantung order. Â
Acap kali saya simak Titiek Soehartio mengatakan ingin maju Caketum Golkar di Munaslub ini, maka media memelintir berita: Titiek Soeharto mendukung Airlangga, karena semua sudah aklamasi ... bla-bla.
Bukan saja media.Â
Beragam tokoh seakan mempersekusi Titiek. Seorang menteri dianggap dekat dengan presiden mengatakan tak usah maju, presiden lebih memilih Airlangga. Â
Saya tak tahu akan  skenario apa dimainkan, apakah  benar presiden ok atau tidak , saya sendiri belum mengkonfirmasi. Akan tetapi opini media, opini tokoh, suara DPD I,  dan kehadiran Presiden Jokowi tadi malam diartikan Ketua Umum ya mesti Airlangga.
Warga telah dipertontonkan  sebuah langgam politik  "mulia" katanya selama reformasi ini.
Dalam "kemuliian" itu kita diperlihatkan pembatalan surat penunjukan  Ridwan Kamil Cagub Jabar oleh seorang Ketua Umum hasil Rapat Pleno.Â
Dan kini belum pula Munaslub berakhir, seorang Akbar Tanjung sudah bilang jabatan Airlangga hingga 2022.