Jakarta di Minggu pagi ini cerah. Angin pagi dalam sepekan cederung bertiup kencang, tadi terasa sepoi. Saya menyimak terap air bertadahan kolam kecil gemericiknya sebelum jatuh ke kolam besar di bawahnya melewati sela akar tanaman rumput menyemak.  Di tepiannya sudah meninggi  dedaunan. Bulir bunganya seakan menyimpan padi. Kuat sekali dugaan , tanaman liar  itu terbawa kaki burung liar. Burung-burung  datang rutin saban hari mandi-mandi, berbunyi-bunyi.Â
Pemandangan itu selalu kami syukuri, di  tengah Jakarta Pusat padat.
Dalam keadaan demikian gawai saya bergetar. Dari seberang seorang kawan menyapa, bertanya ihwal kopi. Saya pernah menyarankannya menenggak kopi tanpa gula. Ia kemudian bersepakat bila kemudian kopi bisa berasa manis di lidah,  ada asam,  pahit sedikit. Tiga rasa itulah  membedakan asal-usul kopi Arabika. Arabika dari  Wamena, Papua,  dipastikan lebih manis, tidak ada asam, pahitnya sangat sedikit.  Setelah ngalor-ngidul  ihwal perkopian obrolan beralih ke politik, khususnya Partai Golkar.
Saya tak tahu apakah nama saya masih tercantum sebagai anggota Partai Golkar. Pada 1984 saya pernah menjadi Ketua Koperasi Himpunan Industri Kecil Seluruh Indonesia (HIKSI). HIKSI anggota KADIN Indonesia, maka seluruh anggotanya didaftarkan sebagai anggota Golkar. Itu pula untuk kedua kali, pada 1991 saya dilantik menjadi anggota HIPMI DKI Jakarta, maka nama saya dituliskan menjadi anggota Golkar, berbarengan kala itu dilantik dengan Bambang Soesatyo, kini anggota Komisi III DPR RI, ada juga Hariyadi Soekamdani, di antaranya. Setelah reformasi saya tak pernah lagi ikutan di partai politik, saya tak tahu apakah nama saya terdaftar sebagai anggota Partai Golkar.
"Saat ini Ketua DPD Â satu kami sudah meminta DPD dua memilih Airlangga."
"Saya heran dengan Partai Golkar dalam rencana Munaslubnya hanya menampilkan dua kandidat, Idrus dan Airlangga."
Begitu suara kawan saya itu.
Idrus dimaksudnya adalah Idrus Marham, Sekjen Golkar saat ini. Sedangkan  Airlangga, yakni kini sosok menjabat Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto
"Golkar," katanya melanjutkan kata, "Bisa habis kehilangan ruh dasar. Padahal bangsa dan negara kita membutuhkan partai besar dan kuat."
Ia memancing minat saya agar kembali bicara politik.Â
Sudah beberapa kali sahabat itu menyapa, saya alihkan bicara tentang perjalanan. Hanya satu saja ia lama terdiam.  Ketika saya jelaskan pernah ke Thaprek, Kathmandu, di Kaki Pegunungan Himalaya. Saya dan isteri menjadi turis ke-5 dan 6 ke sana tahun lalu. Dan sesampai di Thaprek kami lanjut berjalan kaki, menemukan perkampungan Islam, didiami 100 kepala keluarga, hidup rukun damai di alam terkembang dominan Buda. Di kaki Pegunungan Himalaya, di puncak-puncak bukit Azan berkumandang. Kami shalat Magrib dihamparan  alam berketinggian khusyuk. Selebihnya kawan saya itu cederung mengalihkan omong politik.