TEMPO pekan ini menulis Memoar Jus Badudu, berjudul Gurunya Guru Bahasa Indonesia. Setelah membacatulisandi majalah itu saya memahat penggalan kalimat,lalu mematrikan ke benak bahwa pengajaran Bahasa Indonesia dan Sastra di sekolah-sekolah telah gagal. Gagal mendidik siswa berbahasa lisan dan tulisan baik dan benar.
Selasa dan Rabu, 11-12 September kemarin saya menjadifasilitator pelatihan menulis feature, literair, yang diadakan Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) untuk kelompok usaha Astra International Tbk., di Hotel Kinasih, Caringin, Bogor. Kepada pesertaberjumlah 12 orang, saya minta panitia membagi fotokopi memoar Jus Badudu itu, dengan harapan mereka kian sadar sangat penting berbahasa tutur dan tulisan benar.
Di setiap menjadi fasilitator, acap saya katakan bahwa bahasa adalah logika. Membenahi logika, termasuk mengajak taat keadah ke pengertian dasar, rajin membuka Kamus Bahasa Indonesia,beli buku Ejaan Yang Baik dan Disempurnakan, dibaca; tidak anggap enteng menulis di menyatakan tempat lalu digabung, padahal harus dipisah seperti: di muka.
Satu kalimat satu pokok pikiran, dan seterusnya. Kalimat bermuatan Subjek Predikat Objek Keterangan (SPOK). Di televisi beberapa kali saya sampaikan jika pembicaraan ngalor-ngidul tentang sesuatu, lalu saya merujuk mari kembali ke SPOK, tidak sebatas ketengan-keterangan, tanpa subjek, tanpa predikat, tanpa objek. Penonton biasanya senang lalu tertawa menyimak ihwal kembali ke SPOK itu.
Hari ini, anak saya mengingatkan akan video di youtube.com. Link berisikan penggalan rekaman wawancara Vicky Prasetyo, suami gagal Sazkia Gotik di sebuah infotaimen. Juga penggalan pidato Vicky di saat menjadi calon Kepala Desa Karang Asih. Untuk rekaman video kedua sayatak paham, hal itu memang betulan atau sebatas dagelan. Saya tanyakan ke beberapa kawan katanya hal itu nyata.
Maka dari dua rekaman itu muncullah katamelekat diingatan; 29 my age, rindu apreasiasi, harmonisisasi, konspirasi kemakmuran, statusisasi, kontroversi hati, kudeta keinginan, mempertakut ...Di satu sisi, Vicky kreatifmemperkenalkan istilah baru; konspirasi kemakmuran; kudeta keinginan. Akan tetapi membuat hati ini geli lalu perut sakit menahan gelak-tawa, Vicky menggado-gadokan bahasa Indonesia dengan beberapa penggalan kata Bahasa Inggristidak pas.Seperti penggalan, “Iam from thebirthday in Karang Asih…” Mungkin maksudnya I was born dan seterusnya.
Fenomena apa pula ini?
Bagi saya di tengah berita kedelai langka, berita korupsi dan kasus TSK Hambalang sebatas “akan” dituntaskan dan ditahan, lalu penembakan polisi oleh pihak tak jelas, kebosanan publikmenyimak langgam pemerintahan SBY, lalu media dan publik seakan tersihir dengan tampilnya Jokowi merakyat, hinggakemana pun Jokowi pergi mendapatkan sambutan, tontotan akan sosok Vicky menjadi menghibur.
Setidaknya ia telah memberi oase bagi kalangan menangah di media sosial untuk ngakak. Hampir sebagian besar status kawan-kawan pemegangBlack Berry, menuliskan kata-kata ber-embel-embel: sasi-sasi. Tadinya saya tak paham mengapa semua pada ber-sasi-sasi? O, ternyataterkena wabah virus Vickynisasi.
Makadari kenyatan terbaru ini, Vickynisasi itu, sejatinyalah kita semua bisa bercermin, berkaca diri, terutama bagi para pemangku jabatan publik, terlebih pemimpin tertinggi,bangsa dan negara, bahwa kita membangun hingga hari ini sebatas vickynisasi.Boro-boro meng-kanalisasi-kan berbagai kota agar drainasenya baik dan benar.
@iwanpiliang, citizen reporter
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H