Maka setiap tahun angka sampah DKI ditambah, agar dana bisa dihisap dari penguapan tonase kian besar. Biaya dikeluarkan pemda DKI Jakarta untuk mengangkut sampah ke TPA itu Rp 253. 387 per ton. Anda hitung sendiri jika angka itu dikalikan 3.500 sahaja.
Sekadar gambaran untuk Anda, jika 6.500 ton sehari, maka dalam 2 hari, volume sampah DKI Jakarta, setara dengan volume Candi Borobudur. Volume seukuran Candi Borobudur itu, memang dapat dilihat dari total tumpukan sampah menggunung di dalam kawasan TPA. Namun tumpukan itu, total menahun.
Di satu tumpukan sebuah beku besar mengeluarkan sampah dari truk. Di bawahnya kerumunan pemulung dengan keranjang rotan di punggung, mengais sampah. Mereka memilah; plastik, kayu, bahkan kasur, serta potongan perca, hingga baju bekas.
Saya menyimak satu dua dari ratusan pemulung itu, mendapatkan buah jeruk sudah terkupas, masih ada bagian bisa dimakan. Dengan kondisi tangan bergelimang sampah, dan aroma sekitar bak dikerubungi bau bangkai-masai, ia melahap jeruk sampah basah.
Di bagian atas rombongan pemulung itu, masih ada lagi dua beku bekerja. Alat berat itu mengais sampah ke bagian atas. Terlihat menjadi bertiga trap. Buat gambaran Anda, ya bagaikan lekukan lantai tiga Candi Borobudur.
Mengelilingi ke kawasan itu, jalan-jalan seputar mengalirkan air hitam legam. Jangan ditanya aromanya. Aliran got sekitar tidak mengalir. Di beberapa tumpukan sampah sudah “mencandi” terlihat jaringan pipa hitam berdiameter sepenggaris, 30 cm. Beberapa pipa karet ebonit itu tampak sudah tak tersambung satu sama lain. Konon pipa-pipa itu dialirkan ke pengolahan gas. Itu artinya gas dari sampah sudah dimanfaatkan untuk listrik?
“Teorinya demikian. Namun prateknya lihat saja!” ujar sumber saya itu.
Di sebuah bangunan konon menampung gas sampah itu, memang ada suara mesin menderu. Seakan nyala. Namun sumber saya itu meragukannya menghasilkan listrik. Saya berniat turun, dari mobil untuk memastikan. Namun ia menyarankan jangan, nanti akan menimbulkan kehebohan di lokasi. Itu artinya, proyek listrik dari gas buang sampah, dibiayai Pemda DKI ratusan miliar wajib dipertanyakan.
“Lantas kalau berjalan, listriknya dijual ke mana? Lalu pendapatan penjualannya milik siapa? Toh semua dibiayai Pemda. Bahkan uang Pemda setiap tahun juga membayar Rp 75 miliar Pemda Bekasi, agar kawasan ini dipertahankan.”
Di beberapa kawasan kosong kini banyak ditanami pohon Jati Belanda. “Itu lihat Jati Belanda ditanam oleh swasta. Ini nanti juga bisa menjadi masalah, menjadi milik siapa? Tanah, tanah Pamda, penanam swasta?” Sumber saya itu juga meragukan apakah kini tanah Pemda di Bantar Gebang itu masih ada 108 hektar? Jangan-jangan sudah berkurang jauh?
Ihwal mark up tonase itu, sumber saya itu sudah lama menyarankan ke Dinas Kebersihan DKI Jakarta, untuk mengakui saja dosa panjang. Dosa me-mark up tonase sampah. Namun sejak pengakuan itu dihitung secara riil berapa sampah sesungguhnya.